Mohon tunggu...
Alvaro Gavriel
Alvaro Gavriel Mohon Tunggu... -

I am happy now!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dampak Kenaikan Harga LPG 12 kg

4 Januari 2014   07:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pertamina telah memberikan hadiah yang cukup mengejutkan di awal tahun baru 2014. Namun demikian, hadiah tersebut tidak populis, yakni kenaikan harga LPG satuan 12 kg. Keterkejutan masyarakat cukup membuat panik, pasalnya kenaikan tersebut membuat harga LPG 12 kg di pasaran menembus Rp 150.000, bahkan di sejumlah daerah telah menembus Rp 180.000.

Kenaikan harga LPG 12 kg ini mengingatkan saya kembali akan kondisi yang sama beberapa tahunn silam sebagai dampak langsung terhadap para pihak yang terlibat dalam penjualan, distribusi, dan penggunaannya. Bagaimanapun, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan secara masak agar dampak tersebut tidak menjadi negatif. Dalam tulisan ini, saya akan bahas mengenai dampak negatif akibat diambilnya keputusan RUPS Pertamina tentang kenaikan harga LPG 12 kg.

Pertama, konsumen akan beralih ke sumber energi lain yang lebih murah. Tidak perlu diperintah, sesuai naluri, konsumen yang awalnya pengguna LPG 12 kg akan beralih ke sumber energi lain yang lebih murah. Sejumlah konsumen pada awalnya memilih kemasan 12 kg (tabung biru) karena lebih aman daripada kemasan 3 kg (tabung hijau) karena kemasan 12 kg dinilai lebih aman, sehingga jarang terdengar kasus tabung gas meledak. Saat ini, fakta yang terjadi adalah terjadinya kenaikan harga jual eceran (bukan dari Pertamina) pada LPG kemasan 3 kg yang sebelumnya dijual pada kisaran Rp 15.000 saat ini telah mencapai Rp 18.000. Sesuai hukum pasar, jika suplai tetap dan permintaan meningkat, maka harga akan meningkat pula. Tidak mungkin seluruh agen di tanah air ini  melakukan kartel secara jamaah, padahal Pertamina tidak meningkatkan harga jual kemasan 3 kg tersebut. Hal ini setidaknya menguatkan indikasi adanya peningkatan permintaan LPG 3 kg secara signifikan. Dan yang perlu diingat adalah, konsumen yang saat ini masih pengguna LPG 12 kg bisa jadi hanya belum beralih ke LPG 3 kg karena gas yang digunakan di rumah masih cukup. Pada saatnya nanti, mereka pun akan beralih ke 3 kg sebagaimana masyarakat yang sudah lebih dahulu melakukannya.

Saat ini harga jual eceran tertinggi LPG 12 kg anggaplah Rp 180.000 dan harga jual eceran LPG 3 kg anggaplah Rp 18.000. dengan demikian, harga 4 buah LPG 3 kg yang volume gasnya sama dengan LPG 12 adalah sebesar Rp 72.000 di mana harga tersebut adalah harga jual eceran terendah LPG 12 kg sebelum adanya peningkatan harga yang dilakukan oleh Pertamina. Dengan demikian harga jual eceran per kg LPG 3 kg adalah 2,5 kali lipat daripada harga jual eceran LPG 12 kg.

Pengguna LPG 12 kg adalah bukan konsumen dengan loyalitas tinggi, terlebih wadah energi yang dijual Pertamina tersebut adalah tabung yang dapat dipindah atau dijual kembali jika tidak diperlukan lagi dengan mudah. Lain halnya jika pelanggan adalah tipe pelanggan dengan jaringan pipa gas yang lebih sulit untuk melakukan proses pemasangan dan pencopotan instalasi.

Dampak tidak langsung dari adanya peralihan penggunaan dari 12 kg ke 3 kg tentunya mementahkan alasan Pertamina meningkatkan harga jual LPG 12 kg karena LPG 3 kg masih diberikan subsidi yang cukup besar dari pemerintah. Kerugian Pertamina yang disebut-sebut mencapai Rp 3 Triliun jika tidak dilakukan peningkatan harga pada LPG 12 kg pada tahun 2014 pun menjadi kenyataan. Pasalnya, subsidi yang terdapat pada LPG 3 kg jauh lebih besar daripada yang terdapat pada LPG 12 kg.

Litbang Pertamina (atau apapun badan di Pertamina yang bertanggung jawab terhadap reliabilitas loyalitas konsumen LPG 12 kg) selayaknya melakukan uji dampak terhadap kenaikan pada LPG 12 kg. Saya yakin, jika uji tersebut dilakukan secara serius akan diketahui bahwa sebelum kenaikan LPG 12 kg pun telah terjadi peralihan pengguna dari 12 kg ke 3 kg secara sporadis yang dimungkinkan akibat konsumen semakin kesulitan akibat daya beli mereka yang semakin menurun.

Pertamina tidak memiliki mekanisme untuk memastikan bahwa pengguna 12 kg akan terus menggunakannya dan tidak beralih ke 3 kg. Setidaknya, jika konsumen beralih ke merek lain atau sumber energi lainnya hal itu masih lebih baik karena tidak malah menggerogoti subsidi negara pada konsumsi energi.

Ke depannya, pada kondisi Pertamina (kembali) merugi karena volume penjualan gas LPG 3 kg yang membengkak sebagai akibat peralihan penggunaan LPG 12 kg ke 3 kg, sangat dimungkinkan Pertamina akan melakukan peningkatan harga jual, meski besaran subsidi tetap. Masyarakat pun kembali susah akibat kenaikan harga gas.

Kedua, praktek kecurangan akan kembali marak. Di antara anda mungkin masih ingat tentang istilah (maaf) “gas kentut”, yaitu pengurangan volume tabung LPG 3 kg untuk ditransfer ke dalam tabung LPG 12 kg. Jelas, pelaku menginginkan keuntungan besar dengan transfer gas tersebut. Disparitas harga yang cukup tinggi antara LPG 12 kg dan 3 kg menjadikan peluang bagi pedagang untuk melakukan praktek curang.

Dampak turunan dari praktek kecurangan volume gas setidaknya ada dua, yaitu terhadap terhadap kepuasan pelanggan dan keamanan. Pertama, pelanggan tentunya akan merasa tidak puas ketika membeli gas LPG 3 kg yang sudah habis sebelum waktunya. Wajar saja, ketika volume/berat gas tidak sesuai sebagai akibat sudah dikurangi, maka gas akan lebih cepat habis.

Kedua, ketika gas dipaksa ditransfer dari tabung 3 kg ke tabung 12 kg, biasanya peralatan yang digunakan adalah pipa biasa. Saya tidak perlu menjelaskan bagaimana caranya karena tidak perlu ditiru. Pipa tersebut dapat merusak katup pada pentil di kepala tabung gas. Akibatnya, gas akan keluar dengan sendirinya, meski tidak banyak. Namun demikian, ketika tabung gas diletakkan pada ruang tertutup, apalagi dalam jumlah banyak, akumulasi gas jenuh yang keluar menjadi bow waktu. Untuk meledakkan tabung gas beserta benda-benda yang ada di sekitarnya, cukup pantik api kecil, bisa dengan api kompor, korek api, atau  sekedar gesekan antara logam dengan logam. Yang perlu dicermati adalah bahwa resiko ini bukan hanya pada pelaku, tetapi juga bisa dialami pada pengguna gas LPG dari Pertamina.

Dengan berbagai dampak negatif di atas, seyogyanya Pertamina sadar diri akan langkah yang telah diambilnya. Sangat tidak arif ketika Pertamina melakukan kesalahan yang sama terus-menerus dan berulang-ulang lalu masyarakat menjadi korban. Sudah saatnya Pertamina memikirkan solusi jangka panjang yang jauh lebih efektif untuk menjual energi berupa LPG dengan lebih aman, murah, mudah, dan tepat sasaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun