Mohon tunggu...
Alvarie Ananda
Alvarie Ananda Mohon Tunggu... -

#LupaLogika

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Pria yang Jam Tangannya Dicuri oleh Waktu

30 September 2014   20:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:55 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi hari di kantor pengadil, Sorang pria pendek kurus kerempeng berkulit coklat tanah dan tak pernah tahu mau kemana dirinya selama hidup itu mengadukan waktu yang telah mencuri jam tangannya. Ia yakin waktu itulah yang sengaja membuat dirinya lupa sehingga jam tangan pemberian tuhannya itu,  tercuri.

Satu-satunya benda yang tak pernah dia rawat dan dijaga baik-baik namun begitu ia sayangi, lebih dari hidupnya sendiri. Jam tangan ini pemberian tuhan di hari ulang tahunku, katanya dengan suara yang dibuat parau kepada bapak pengadil yang berkacama hitam.

aku bisa saja pulang kerumah dengan lapang dada dan meminta dihidupkan kembali, tapi belum tentu jam tangan itu kembali. Aku meminta waktu mengaku dan dipotong tangannya di hadapanku, - teriaknya dibuat keras-keras di dalam ruangan yang adil namun ternyata senang mengoleksi jam dinding. Kulihat ia mulai mengecap-ngecap bibirnya yang hitam-hitam kegelapan, kerongkonganya memasuki fase kemarau pikirku.

Orang yang menuduh waktu itu mengeluarkan sebatang rokok yang berkerut dan hampir-hampir saja robek saat ruangan ini terkaget-kaget ngeri memikirkan seandainya waktu bersalah dan tangannya terpotong, di arahkannya sebatang rokok yang tak tahu apa-apa tentang masalah di dunia yang bangsat ini ke arah mulutnya, di ruangan ini si laki-laki yang dizhalimi oleh waktu katanya mulai menyulut api.

Kuceritakan padamu, Aku duduk di barisan paling belakang pada bangku panjang yang banyak orang bilang nasibnya sama tragis dengan bangku-bangku yang ada di terminal-terminal, stasiun, atau pinggir jalan dibawah pohon rindang tempat diriku biasa menunggu angkutan. Menunggu keputusan akan nasib adalah suatu yang mungkin mengganggu menurutku, juga. Aku jadi memikirkan nasibku sendiri kini saat si pria yang jam tangannya dicuri oleh waktu mulai nyaman menyemburkan asap-asap pekat yang telah lebih dulu mengepuli cerobong kemaraunya lepas bebas bertemu udara segar, dan menodainya.

Mataku menatap kedepan, bukan tatapan kosong. Kulihat pundak-pundak orang lain dengan berbagai macam bentuk gaya potongan rambut belakang juga serius mengikuti peradilan ini. Sepi tak ada suara, orang semua diam, yang bergemuruh hanya didalam. Pikiranku mengada-ngada melihat para pemberi keadilan mulai berbicara satu sama lainnya. Kulihat mulut-mulut mereka begitu berisik, namun tak terdengar apapun selain nada kering dari kertas yang terbakar di mulut pria pengadu itu.

Di dalam sangkar besi yang terletak di samping meja dan kursi si ketua pengadil, aku melihat waktu yang terdiam. Kesia-sian adalah kata yang coba ia kembangkan untuk memuaikan besi-besi jeruji, membengkokkannya, membuat celah seukurannya, dan mencoba kabur walau akhirnya ia berakhir dalam kefana’an. Di tembak mati tanpa keadilan-pun tak apa-apa.

Aku mencoba mengenali waktu, mencoba menerka-nerka untuk mendapatkan jawaban dari pikiranku sendiri tentang apa benar waktu yang bersalah, mencuri jam tangan mahal milik tuannya.

Namun, kacamata hitam mulai bersuara, dan aku tahu ia tidak buta untuk meneriaki si pria yang kehilangan jam tanganya untuk mematikan rokoknya, tadi. Waktu dinyatakan bersalah,- tegas si pengadil berkacamata hitam memberi keputusan, dan putus asa mulai mendinginkan kesia-siaan yang sedikit lagi saja bisa melunakkan -jeruji-jeruji besi tempat waktu yang terduduk untuk diadili.

Si pria pengadu yang jam tangannya dicuri oleh waktu dan kini tidak memiliki sebatang rokok-pun disakunya puas, ia memberi tanda setuju dihadapan secarik kertas yang ditawarkan oleh si pengadil berkacamata bewarna hitam. Jeruji-jeruji besi yang mengitari putus asa dan kesia-siaan yang disesali oleh waktu mulai bergoyang, bergerak dan coba kau pikirkan sangkar yang terangkat ke arah atas. 4 penjaga yang bertugas menjaga keamanan tempat peradilan mulai memboyong waktu ke dalam sel tahanan yang jauhnya bukan main dari tempatku yang sedari tadi menceritakan hal ini padamu di barisan bangku paling belakang.

Aku berdiri, tak puas. Lekas berdiri dan meninggalkan bangku-bangku penunggu ruang ini untuk belajar hukum demi membela, atau mengadili waktu sewaktu-waktu nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun