Mohon tunggu...
Alvania Kartika
Alvania Kartika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Another ISTP

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Tulisan Ini Didedikasikan untuk Bapak

16 Juli 2022   09:01 Diperbarui: 16 Juli 2022   09:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tipe orang yang sulit memahami emosi/perasaan. Bagi saya, sulit sekali memahami curhat orang yang emosional karena emosi itu sulit dirumuskan atau dipetakan. Berbeda dengan rumus-rumus matematis atau logika sederhana, emosi tidak memiliki aturan itu. Maka dari itu, dari sistem klasifikasi keprbadian MBTI, saya termasuk ke golongan "Thinkers", lebih tepatnya ISTP. (Hello fellow ISTPs out there!)

Seiring waktu bertambahnya usia saya, hal ini semakin kentara ketika saya jarang ambil pusing dengan drama-drama pertemanan. Namun tentu, lain cerita kalau tentang berpacaran. Ketika saya kuliah, saya berpacaran 5 tahun dan baru berani bilang ke Bapak kalau saya punya orang spesial. Namun sayang hubungan itu tidak berlanjut dan saya tidak bilang ke Bapak. Saya hanya diam-diam saja dan bertingkah normal. Bapak saya tidak bertanya apa-apa.

Setelah itu saya punya pacar baru, sebut saja Q. Q ini sedikit mendesak untuk diperkenalkan ke keluarga saya. Berhubung waktu itu saya masih di Jogja karena menyelesaikan tesis, saya menceritakan tentang Q melalui pesan singkat ke Bapak. Terlepas dari perbedaan kepercayaan dan adat, Bapak saya hanya mempertanyakan satu hal. Hal yang awalnya tidak terpikirkan oleh saya. Dari situ saya mulai menyadari betapa Bapak sebenarnya sangat menyayangi anak-anaknya dengan bisa memproyeksikan hal-hal yang "terselubung". Singkat cerita, setelah panjang lebar cerita ke Bapak, Q memutuskan untuk menyudahi hubungan dengan saya. Tentu saja, yang namanya patah hati selalu menyedihkan, brutal dan tidak menyenangkan. Saya tidak bilang ke Bapak kalau saya sudah tidak bersama Q. 

Lanjut, setelah itu saya dekat dengan orang baru, sebut saja Y. Saat dekat dengan Y, dia juga ingin main ke rumah saya. Saya yang jarang sekali membawa orang ke rumah, langsung panik bukan main. Saya curhat ke Bapak, "kalo ke rumah terus ngapain?". Bapak dengan santainya bilang,"ya nanti sudah tau. Tidak perlu khawatir.". How mindblowing, hehe. Singkat cerita, Y datang main ke rumah dan bertemu Bapak, Ibu dan Adik saya. Lalu beberapa minggu kemudian, Y memutuskan saya. 

Beberapa bulan kemudian, saat sekeluarga mudik Natal, seperti biasa, dalam percakapan keluarga, Bapak tiba-tiba berkata,"tidak apa-apa, nanti ada yang lebih baik." Padahal saya belum bilang kalau saya sudah gak sama Y. Lalu setelah itu, kami pergi keluar membeli sate. Di dalam mobil sambil menunggu pesanan sate kami siap, saya tiba-tiba bilang ke Bapak,"udah gak sama Y." Kalimat itu saya ucapkan sudah mempertimbangkan agar saya tidak menangis, namun tetap saja mata saya terasa lebih berair.  Saya tidak pernah sanggup menatap mata Bapak untuk sekadar bilang terima kasih, apalagi untuk hal-hal emosional yang saya sendiri sulit memahami. Kemudian Bapak membalas,"oo, ya sudah, lebih baik tidak dilanjutkan daripada dilanjutkan tapi karena rasa tidak enakan.". Mendengar itu, energi sepenuhnya saya fokuskan untuk tidak meneteskan air mata. 

Poinnya, saya kaget, kok Bapak seakan-akan punya indera keenam untuk bisa mengetahui perasaan anak-anaknya ya? Aneh banget.

Namun, kata orang, "Bapak adalah cinta pertama anak perempuan". Setelah saya pikir-pikir, iya juga ya. Akan sangat menyenangkan kalau pasangan saya cocok dengan Bapak. Namun terlepas dari itu, tentu saya tidak ingin pasangan saya sama persis dengan Bapak. Lalu saya juga jadi teringat kasus teman-teman perempuan saya, bapak-bapak merekan melindungi anak-(perempuan, khususnya)nya dengan (salah satunya), meminta keseriusan calon pasangan, agar si anak dihindarkan dari patah hati. Itu hanya satu contoh yang saya temukan. Pasti ada banyak contoh lain diluar sana.

Dari sini saya merenungkan bahwa, tidak ada buku panduan bagaimana cara menjadi orangtua yang baik. Entah betul atau tidak pepatah yang mengatakan "Bapak lebih sayang dengan anak perempuan, Ibu lebih sayang dengan anak laki-laki", tapi dengan kehadiran sosok Bapak saya, saya jadi merenungkan jika saya jadi orangtua nanti, saya harus bisa mendidik anak seperti Bapak saya, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun