Mengenai perhubungan darat beserta efeknya ini telah didokumentasikan Wikipedia, sebagai berikut: “Sampai pada tahun 2004, kondisi transportasi jalan di Kota Bandung masih buruk dengan tingginya tingkat kemacetan serta ruas jalan yang tidak memadai, termasuk masalah parkir dan tingginya polusi udara. Permasalahan ini muncul karena beberapa faktor di antaranya pengelolaan transportasi oleh pemerintah setempat yang tidak maksimal seperti rendahnya koordinasi antara instansi yang terkait, ketidakjelasan wewenang setiap instansi, dan kurangnya sumber daya manusia, serta ditambah tidak lengkapnya peraturan pendukung” (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung, Akses: 12/11/2016).
Serta keempat, seperti trending topic atau foto spanduk di atas merupakan indikator dekadensi moral. Jika siswi SMA merokok dan tak bermalu videonya disebar/tersebar, alamat cilaka sosok ibu masa depan; preseden buruk bagi anak-anaknya. Lantas, spanduk yang saya jepret pada Januari 2015 itu ternyata sekadar ‘iklan’, sekadar memorabilia dan spanduk itu sudah lama pula raib tanpa terdengar kabar ada warga/pendatang atau pedagang yang didenda 250 ribu hingga 5 juta rupiah itu.
Di depan mata kita, jejak pelanggaran K3 (kebersihan, ketertiban, dan keindahan) itu tampak; entahlah di belakang mata kita di antara pelanggar dengan aparat.
Kalau akhlak sudah merosot, maka ‘wajar’ tipikal kota yang padat-sumpek-mampet-macet sehingga banjir masuk kota; juga kasus kriminal yang mulai terang-terangan semarak terjadi; menjadi seperti ketika Galunggung meletus di 1982, Iwan Fals ‘mengimbau’ Tuhan untuk memindahkan bencana dari desa ke kota karena kota pusat segala dosa.
Ya, saya ingin mengatakan bahwa etika dengan bencana itu berkelindan, meskipun muncul beberapa sinyalemen pro-kontra seperti bencana bagi suatu daerah itu azab, jika penduduknya ingkar; atau sebaliknya fitnah (ujian), jika penduduknya beriman.
Mari kita renungkan ayat Quran, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS 30: 41).
Di ayat lain dipertegas bahwa perusak alam ialah pembunuh, sedangkan membunuh seorang saja itu sama dengan membunuh seluruh manusia (QS 5: 32).
Nah, menjadi ‘wajar’ jika Bandung dikepung banjir, bahkan sejak 1977 ketika perumahan saya didirikan-diresmikan akibat longsor Manglayang, padahal semestinya reboisasi, bukan eksplorasi, apalagi eksploitasi yang sekarang semakin mengkhawatirkan karena bermunculan perumahan baru serta pengambilan air gunung secara industri!
Pun dengan KBU yang GR dinilai primadona Bandung sebagai kota wisata alam, baju, dan kuliner, sehingga bangunan lebih subur di sana padahal ‘Bandung’ itu Nga-Bandung-anBanda Indung (menyaksikan harta ibu); maksudnya: menjaga air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia dan segala isi perut bumi. Namun oknum ‘kita’ bengal dengan argumentasi demi pembangunan.
Secara topografis, Bandung Raya itu danau menurut legenda Sangkuriang. Lihatlah di Gunung Tangkuban Perahu, Bandung itu mangkuk atau wajan; maka lenyaplah predikat Kota Kembang, Paris van Java, ibu kotanya Asia-Afrika (Jawaharlal Nehru, 1955), salah satu kota paling aman di dunia (majalah Time, 1990), kota terkreatif se-Asia Timur (British Council, 2007), atau sederet prestasi lain di bawah kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil akan lenyap oleh banjir.
Mungkin, banjir itu tangisan Sangkuriang karena terlanjur cinta kepada ibu kandungnya sendiri; apakah sebuah representasi karma perilaku warga Bandung yang tidak menjaga ibu pertiwi?