"Cermin..., cermin di dinding, katakan padaku, mana yang lebih penting "proses atau hasil akhir". Cermin bergeming. Kemudian, terdengar suara dari dalam sana. "Yang terpenting adalah Aku"
Habibi, kakaknya dan ibu gurunya kiranya layak mendapat penghargaan. Ketiganya mengantar begitu banyak orang untuk turut meribetkan mana yang lebih penting "proses atau hasil akhir". Tidak terelakkan, yang sana mengatakan proses itu yang lebih penting, yang sini bertahan dengan mengatakan hasil akhirlah yang lebih penting. Dan, yang juga terasa kental, yang terpenting adalah "AKU".
#
Dua orang saling mencinta. Direstui kedua belah pihak keluarga. Menikah. Tak selang berapa lama sang istri hamil. Semua tak kan ambil pusing lagi mengenai prosesnya, selain ikut bersyukur dan berbahagia.Ceritanya akan berbeda setelah setahun, dua tahun, tiga tahun, sekian tahun berlalu, sang istri belum hamil juga. Satu, dua atau semuanya, kemudian, tergoda menelusuri prosesnya. "Kenapa?" Akan menjadi runyam ketika ada yang bertanya "siapa yang salah".
Seorang remaja hamil. Proses dan hasil akhirnya akan sama sama dirusuhi sampai capek. Jika fakta yang terangkat si remaja itu terkenal ganjen, maka semua langsung menjadi "hakim agung", memberikan fatwa bagaimana proses dan hasil akhir itu dibumbui dengan rempah rempah yang tajam rasanya. Jika fakta menunjukkan si remaja dikenal alim, maka akan berbeda juga proses mengulek, walau tetap seakan semua berhak menjadi "hakim konstitusi".
"Mana yang lebih penting proses atau hasil akhir?". Â Masih perlukah dicereweti kedua hal yang bersaudara kandung itu. Hasil akhir tidak akan didapat tanpa sebuah proses. Sebuah proses akan selalu menuju hasil akhir. Apakah akan putus di tengah jalan, mandek, mogok, itu adalah hasilnya juga. Memahami penting atau tidaknya kemudian tergantung dari sisi mana mau dikupasnya. Hanya kematian yang absolut di dunia ini.
#
Disebuah pesta, seorang nyonya sosialita sengaja mendekati seorang penemu. Ia berkata, "katakakan padaku bagaimana terjadinya listrik". Sang penemu itu tersenyum dengan sopan menjawab: "Jika nyonya ingin menyalakan lampu, tekan saja tombolnya"
Ketika seorang anak usia 3 tahun, sepulang dari pesata pernikahan, bertanya kepada ibunya, "apa itu menikah?". Silahkan diteliti, kalau mau, seceriwis apapun anak itu bertanya dan dengan telaten dijawab oleh ibunya, konsep pernikahan, apa pun itu, tidak akan masuk dalam pikiran anak seusianya. Walau sang ibu terlampau rajin memberikan ilustrasi tentang berbagai konsep pernikahan karena cinta, pernikahan dini, pernikahan ala Siti Nurbaya, sampai kawin lari. MUngkin di benak seorang anak perempuan berusia 3 tahun yang terbayang bahkan terbawa mimpi adalah gaun pengantin yang dimatanya seperti Cincerela. Atau, bagi seorang anak lelaki yang tidak bisa diam, ruang resepsi pernikahan itu adalah arena lari lari dan begitu capek bisa mencomot kue kue yang enak. Barangkali disitulah seninya ketika seorang anak kecil bertanya ia hanya ingin bertanya. Ya, untuk memenuhi rasa ingin tahunya dengan apa yang ada di kepalanya. Jarang orang tua yang terlebih dahulu bertanya "menurut kamu sebuah pernikahan itu apa?". Â Terlebih dahulu menggali informasi yang keburu ada di kepala si kecil, karena seorang anak kecil bertanya karena ada kesan yang terlebih dahulu ada dikepalanya. Kesan seorang anak kecil tentu berbeda dengan orang dewasa. Â Bagaimana memenuhi rasa ingin tahunya tanpa harus membebaninya dengan konsep konsep yang bukan menjadi inti pertanyaannya.
Seorang anak, sampai usia tertentu, akan memposisikan ayah dan ibunya sebagai yang Maha Tahu. Namun, sebaik dan sebagus apapun jawaban yang diberikan oleh sang ibu atau sang ayah terhadap pertanyaan yang diajukannya, seorang anak akan selalu mendalaminya melalui hubungan ayah dan ibunya sehari hari. Kseharian hubungan ayah dan ibunya akan menjadi konsep pernikahan yang akan terus bertumbuh membangun paradigma berpikirnya mengenai pernikahan. Bukan pada bagus atau tidak jawaban sang ibu atau sang ayah, tetapi dari keseharian yang disaksikannya.
Seorang anak kecil bisa saja setiap hari disuapi dengan segala nasehat untuk menjadi seorang anak yang baik. Tetapi, semua juga sadar seorang anak akan menyaksikan perilaku sekitarnya yang akan menjadi acuan dalam memahami berbagai konsep kehidupan.