Di sebuah lembah terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota, berdiri sebuah kampung bernama Kampung Warisan Leluhur. Kampung ini terkenal karena adat dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Penduduk kampung percaya bahwa leluhur mereka tidak hanya meninggalkan tanah dan hutan yang subur, tetapi juga tradisi yang harus dipertahankan demi menjaga keseimbangan dan kedamaian hidup.
Salah satu tradisi yang paling sakral adalah upacara Famali. Famali, menurut kepercayaan warga, adalah perwujudan dari roh leluhur yang akan datang setiap tahun untuk menilai apakah penduduk kampung telah hidup sesuai dengan ajaran leluhur. Upacara ini selalu diadakan di akhir musim panen, sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan kepada leluhur.
Famali selalu dimulai dengan persiapan yang teliti. Seluruh warga kampung berkumpul di rumah adat terbesar, membawa berbagai macam sesajen dari hasil bumi terbaik mereka. Para tetua kampung, yang dipilih karena pengetahuan mendalam tentang tradisi leluhur, memimpin upacara ini. Mereka memulai dengan doa-doa khusus yang diajarkan secara turun-temurun, kemudian membakar dupa yang baunya menebar ke seluruh penjuru kampung.
Malam itu, Kampung Warisan Leluhur menjadi sunyi. Hanya suara gemerisik dedaunan dan hembusan angin yang terdengar. Semua warga menanti dengan harap-harap cemas kedatangan Famali. Para tetua berkata, jika Famali datang dengan tenang, itu berarti leluhur mereka puas dengan kehidupan mereka. Namun, jika Famali datang dengan tanda-tanda yang mengerikan, itu pertanda bahwa mereka harus memperbaiki cara hidup mereka.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang, dan langit yang cerah berubah mendung. Warga kampung menatap satu sama lain dengan ketakutan. Tetua kampung yang paling senior, Mak Leha, segera berdiri dan memerintahkan semua warga untuk menutup mata dan berdoa lebih khusyuk. "Jangan takut, anak-anak leluhur sedang memberi kita tanda," katanya dengan suara tegas namun lembut.
Setelah beberapa saat, angin berhenti, dan udara di sekitar mereka terasa hangat. Perlahan, terdengar suara gemuruh dari dalam tanah. Semua orang menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi. Dari dalam tanah, muncul cahaya redup yang perlahan membentuk wujud manusia. Itulah Famali, perwujudan roh leluhur.
Famali mendekati Mak Leha dan berbicara dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh para tetua. Setelah itu, Famali mengelilingi warga kampung dan menyentuh bahu setiap orang dengan lembut, seolah memberi mereka kekuatan dan berkah. Setelah beberapa saat, cahaya itu memudar dan lenyap di udara malam.
Mak Leha berdiri di tengah kerumunan dan mengumumkan, "Leluhur kita berpesan, kita harus tetap menjaga tradisi dan tidak melupakan akar kita. Mereka puas dengan pengorbanan kita, tapi mereka juga mengingatkan kita untuk terus hidup dengan damai dan menjaga alam."
Semua warga kampung bernafas lega. Mereka menyadari bahwa hidup mereka masih selaras dengan ajaran leluhur. Upacara Famali malam itu menguatkan tekad mereka untuk terus mempertahankan tradisi, tak peduli seberapa banyak dunia di luar sana berubah. Bagi mereka, menjaga warisan leluhur adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa hormat dan kebanggaan.
Keesokan harinya, Kampung Warisan Leluhur kembali hidup dengan semangat baru. Warga kampung melanjutkan hidup mereka dengan rasa syukur dan tekad untuk menjaga adat dan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya bahwa selama mereka memegang teguh warisan ini, kampung mereka akan terus diberkati dan dilindungi oleh para leluhur.