Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi oleh hutan lebat dan sawah hijau, hiduplah seorang anak bernama Amran. Ia lahir di masa yang penuh gejolak, ketika bangsa ini tengah berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajahan.Â
Amran, anak sulung dari tiga bersaudara, telah terbiasa melihat kehidupan penuh kesederhanaan namun sarat akan keberanian.
Setiap hari, Amran membantu ibunya di ladang, menanam padi dan mencari kayu bakar. Ayahnya, seorang petani yang sekaligus menjadi pemimpin gerakan perlawanan di desanya, seringkali pergi dalam waktu lama.Â
Di malam hari, ketika suara jangkrik mulai terdengar nyaring, Amran dan keluarganya berkumpul di sekitar lampu minyak yang temaram. Ayahnya akan berbicara tentang perjuangan, tentang kemerdekaan yang harus diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Suatu malam, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membangunkan Amran dari tidurnya. Dari celah dinding bambu rumahnya, ia melihat ayahnya mengenakan seragam lusuh dan berbisik kepada ibunya.Â
"Malam ini kita akan menyerang pos penjajah di bukit," katanya. Mata Amran yang masih mengantuk seketika terbuka lebar. Ia tahu, malam itu mungkin ayahnya tidak akan kembali.
Sebelum berangkat, ayahnya menghampiri Amran yang berpura-pura masih tertidur. Dengan lembut, ia mengelus kepala putranya dan berbisik, "Kau harus kuat, Amran. Suatu hari nanti, kau akan menjadi penerus perjuangan ini."Â
Kata-kata itu tertanam dalam-dalam di hati Amran.
Malam itu, Amran tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang pertempuran, tentang bagaimana ayahnya akan menghadapi musuh yang jauh lebih kuat dan lebih bersenjata.Â
Pagi harinya, desanya dipenuhi dengan kabar duka. Beberapa pejuang kembali dengan luka-luka, namun ayahnya dan beberapa yang lain tidak pernah kembali. Ibunya menangis dalam diam, berusaha menyembunyikan kesedihannya dari anak-anaknya.