Rame-rame soal RUU pilkada tak langsung tentu kita ingat tentang suatu peristiwa ketika harga BBM dinaikkan oleh pemerintahan SBY, lalu rakyat diberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang katanya merupakan dana kompensasi atas kenaikan BBM. Lalu, setelah kian dekat dengan pemilu 2009, maka harga BBM kemudian diturunkan lagi dengan dalih harga minyak mentah didunia turun. Padahal dengan turunnya harga minyak mentah dunia tidak serta merta menurunkan tingkat subsidi BBM yang tetap membengkak dan akhirnya justru menghambat laju pembangunan yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah dengan mengalihkan subsidi BBM ke hal-hal yang lebih produktif-konstruktif. Pembangunan infrastruktur misalnya, pelayanan kesehatan misalnya, jaminan pendidikan misalnya dan lain hal. Lalu kemudian dengan menurunkan harga BBM dijadikan bahan kampanye partai Demokrat dengan SBY-nya menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009 dengan menyatakan bahwa satu-satunya pemerintahan yang menurunkan harga BBM. Padahal BBM sudah dinaikkan terlebih dahulu oleh pemerintahan SBY dengan Demokratnya.
Lalu apa hubungannya kenaikan BBM dengan RUU pilkada tak langsung?. Mari kita cermati pola yang dilakukan partai Demokrat dengan SBY-nya. Seperti kita maklum, bahwa RUU Pilkada lewat DPRD itu diusulkan oleh pemerintahan SBY dengan alasan mahal, banyak terjadi politik uang, konflik horizontal, tidak sincron antara pemerintahan pusat dan daerah dlsb. Dari usulan ini, pada awalnya banyak fraksi di DPR tidak setuju dan membiarkannya dalam ranah wacana. Dengan bergulirnya waktu, saat gelaran pilpres 2014 terbentuklah Koalisi Merah Putih (KMP) yang didominasi oleh fraksi-fraksi yang pada awalnya menolak pilkada tak langsung. Namun, dalam perjalanannya KMP yang mengusung Prabowo sebagai presiden dengan didukung oleh Demokrat ternyata kalah dari rivalnya Joko Widodo yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI. Lalu, bahasan RUU pilkada tak langsungpun dikebut sebelum masa bhakti anggota DPR habis. Maka timbullah gejolak penolakan RUU pilkada tak langsung ini dari masyarakat. Seperti biasanya, SBY dengan Demokratnya melihat ini dan akhirnya melakukan pernyataan bahwa mereka mendukung pilkada langsung dengan dalih aspirasi rakyat dlsb. Maka hitung-hitungan koalisipun diprediksi akan dimenangkan oleh pilkada langsung dalam rapat paripurna. Namun apa lacur, ternyata Fraksi Demokrat mengambil sikap walk out saat diambilnya voting untuk menentukan pilkada langsung atau pilkada tak langsung. Pada akhirnya, pilkada tak langsung yang memenangkan pertarungan politik dalam drama adu voting. Dan sontak saja, gejolak kemarahan rakyatpun memuncak dan semuanya diarahkan ke SBY dengan Demokratnya sebagai biang kerok atas kekalahan pilkada langsung dan merupakan dalang aksi perampokan dan pembunuhan hak-hak politik rakyat dalam menentukan pilihan atas kepala daerahnya.
Lalu, tidak berselang lama setelah DPR memutuskan bahwa pilkada tak langsung atau lewat DPRD, SBY yang saat itu masih di USA menyatakan kecewa dengan hasil rapat paripurna DPR. Padahal rasa kekecewaan bahkan mungkin marahnya beliau sangat aneh. Aneh, karena kekalahan pilkada langsung adalah karena aksi walk out Fraksi Demokrat yang merupakan anak buah beliau sendiri. Lalu, segera saja rakyat menilai itu semua sandiwara ala drama korea atau drama telenovela dari sang Presiden sekaligus ketua umum partai Demokrat. setelah terjadi caci maki, hujatan dan hinaan rakyat secara luas, rupanya isu dan alibi yang hendak dibangun oleh SBY dengan Demokratnya adalah bahwa kesalahan ada pada fihak PDIP yang tidak mau mendukung opsi mereka. Ini sungguh menjadi semakin sangat lucu, karena jelas-jelas yang menginisiasi adanya pilkada tak langsung adalah dari pemerintahan SBY dengan Demokratnya, dan lagi opsi fraksi Demokrat pada substansinya adalah sama makanya sudah didukung oleh PDIP, PKB dan Hanura. Lalu saat voting fraksi Demokrat justru walk out disaat opsi pilkada langsung sesuai opsinya mendapatkan dukungan. Lalu dari isu yang mulai berkembang, sepertinya semua ini dicoba untuk dilokalisir pada ranah bahwa itulah kesalahan komunikasi Megawati kepada SBY. Padahal ini masalah fundamental politik bangsa Indonesia yang merupakan hak sipil rakyat untuk menentukan pilihannya sendiri. Padahal ini lebih dari sekedar "perseteruan" Jokowi dengan koalisinya dan Prabowo dengan KMP-nya.
Dan sepertinya RUU pilkada tak langsung dengan didampingi UU MD3 ini adalah awal dari apa yang dinamakan pemilihan presiden melalui MPR. Inilah embrio untuk lahirnya Orde Baru jilid II. Dan jika kelak embrio ini lahir, menyusu dan besar maka bersiaplah untuk Reformasi jilid II. Dan tentu kami menilai, bahwa fihak yang paling bertanggung jawab atas semua ini adalah partai Demokrat dengan SBY-nya sebagai presiden dan sekaligus ketua umum walaupun katanya beliau dengan Demokratnya akan melakukan langkah hukum untuk membatalkan UU pilkada tak langsung.
ABG menteng bilang : " Terserah lo ajalah, gajebo keles..."
Dan sebagai kehormatan dari kami, untuk menyambut SBY sebagai presiden sekaligus ketua umum partai Demokrat yang baru saja tiba dari USA mungkin perlu kami sematkan gelar kehormatan kami kepada beliau sebagai "Bapak Pilkada tak Langsung"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H