Kasus pengusiran dari IGD RSCM yang menimpa bayi Akila Janeta beberapa waktu belakangan ini membuat saya mempertanyakan, apakah benar itu merupakan pengusiran. Atau hanya kesalahpahaman yang terjadi pada pihak keluarga Akila, lalu dibesar-besarkan oleh media. Sehingga lagi-lagi pihak rumah sakit menjadi tokoh "antagonis" dalam peristiwa ini.
Saya sendiri pernah mengalami kejadian yang lebih kurang sama dengan yang menimpa bayi Akila, tepatnya pada bulan Desember tahun 2012 lalu. Saya masuk ke IGD RSCM pada tanggal 3 Desember 2012 karena kondisi Myasthenia Gravis yang saya idap saat itu mengalami penurunan. Saya menjadi "penghuni" IGD RSCM selama 6 hari. Sejak awal saya masuk IGD, dokter sudah menyatakan bahwa saya harus masuk ke ruang ICU. Namun karena ruang ICU saat itu penuh, saya terpaksa dirawat di IGD untuk sementara waktu. Sebelumnya saya sudah mengetahui bahwa RSCM adalah rumah sakit yang ruang perawatannya selalu penuh, termasuk untuk ruang ICU, HCU dan ruangan lainnya. Teman-teman saya sesama Myasthe nia Gravis banyak yang menjadi pasien RSCM, baik sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap. Teman-teman saya bahkan ada yang menginap di IGD hingga 10 dan 12 hari, sampai akhirnya mendapatkan ruangan di ruang rawat inap.
Sekedar informasi, untuk mendapatkan tempat di ruang perawatan RSCM memang harus "waiting list". Ini disebabkan karena pasien RSCM yang memang banyak sekali. Apalagi setelah adanya KJS (Kartu Jakarta Sehat). Pasien pun berdatangan dari berbagai daerah. Jadi sangat dimaklumi apabila fasilitas untuk ruang rawat pun akhirnya menjadi terbatas. Teman saya yang datang dari luar kota tepatnya Jambi, harus menunggu selama 2 minggu sampai akhirnya mendapatkan ruang rawat.
Kembali lagi pada kasus pengusiran. Setelah 5 hari di IGD, saya belum juga mendapatkan tempat di ICU. Saat itu tenggorokan saya sudah mulai terasa gatal dan mulai batuk-batuk. Dokter yang menangani saya bersama dengan seorang perawat senior, mendatangi dan menawarkan saya untuk pindah ke Rumah Sakit Thamrin yang tidak jauh dari RSCM. Saya mengerti bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi kebaikan saya. IGD sangat tidak nyaman, kesibukan terjadi 24 jam tanpa henti, belum lagi virus yang ada di IGD akan berbahaya bila menginfeksi pasien yang pada dasarnya memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Saya sangat mengerti tindakan mereka. Mereka pun akan mengurusi segala keperluan saya untuk pindah rumah sakit. Istilahnya, saya terima beres. Perlakuan yang saya dapatkan pun sangat baik. Dan saya adalah pasien KJS (Kartu Jakarta Sehat). Mereka mencari rumah sakit yang juga menerima pasien KJS agar saya dan keluarga tidak mendapatkan masalah dalam pembiayaan di rumah sakit lain.
Walaupun saya mengerti maksud baik mereka, namun saya mengalami keraguan memutuskan untuk tetap bertahan di IGD atau pindah ke RS Thamrin. Pertimbangan saya adalah, dokter yang akan menangani saya nanti di RS Thamrin tidak sama dengan dokter di RSCM. Sementara saya sudah sejak lama menjadi pasien rawat jalan disana. Namun bila terlalu lama di IGD, saya takut terkena infeksi dan di IGD saya tidak bisa beristirahat karena kesibukan yang luar biasa di ruangan itu.
Meski pihak rumah sakit sedang mempersiapkan kepindahan saya ke RS Thamrin, mereka tidak serta merta berhenti menyisihkan ruangan di ICU. Terbukti pada keesokan harinya, di hari keenam, akhirnya ada tempat untuk saya di ICU. Saya tidak jadi pindah rumah sakit. Dan segera masuk ke ruang ICU yang berada pada lantai 2 IGD.
Bagaimana dengan kasus bayi Akila? Saya rasa kasusnya tidak jauh berbeda dengan yang pernah saya alami. Akila diminta untuk pindah sementara ke rumah singgah sampai mendapatkan tempat di ruang perawatan. Jika Akila tetap dibiarkan di IGD, justru dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi kesehatan Akila sendiri. Virus yang ada di rumah sakit jauh lebih berbahaya, kawan. Apalagi dengan daya tahan tubuh pasien yang lemah, sangat rentan terjangkit infeksi.
Saya tidak membela pihak manapun. Saya sebagai pasien juga merasakan apa yang dirasakan oleh keluarga Akila. Saya berpikir bahwa kemungkinan keluarga Akila tidak memahami maksud dari pihak rumah sakit. IGD adalah tempat untuk menangani pasien yang sedang dalam kondisi gawat darurat. Sehingga bila kondisi pasien sudah memungkinkan untuk rawat jalan atau bisa dipindahkan ke ruang perawatan, pasien pun sudah tidak perlu lagi ditempatkan di IGD. Terlebih lagi IGD RSCM seringkali "sesak" bahkan penuh karena begitu banyaknya pasien.
Ada baiknya bila kita memahami dulu permasalahan yang ada sebelum menyudutkan salah satu pihak. Ketahui terlebih dulu alasan suatu pihak dalam mengambil sebuah tindakan. Memang tidak mudah apalagi bagi keluarga pasien yang sedang mengalami "tekanan". Tetapi bukan pula dijadikan alasan menyalahkan pihak lain sepenuhnya. Dalam hal ini adalah pihak rumah sakit.
Dan satu hal lagi, sangat disayangkan ketika media membesar-besarkan berita ini dengan headline "DIUSIR dari IGD RSCM". Terdengar sangat kejam. Karena belum tentu itu yang terjadi, bisa saja kasusnya serupa dengan apa yang pernah terjadi dengan saya. Bijaklah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H