Kali ini sebuah perjalanan membuang diri. Perjalanan yang mengantarkan kakiku ke suatu lembah yang kerap oleh segelintir pendaki sering diplesetkan sebagai lembah putus cinta. Maaf, kali ini saya tidak sedang berada dalam kondisi demikian. Namun, mungkin perihnya bisa jadi serupa rasanya apabila saya bisa goreskan dalam catatan ini. 30 oktober 2009, tengah hari selepas sholat jumat. Kami bertujuh bertolak dari Makassar menuju Desa terakhir menuju kaki gunung bawakaraeng. Namun, sebelumnya kami menyempatkan diri untuk singgah ke SMU Neg 5 Makassar. Bagi teman-teman, kesempatan ini dipergunakan untuk sekedar membeli air mineral dan beberapa bungkus rokok. Lain halnya bagi saya, kesempatan ini saya pergunakan untuk menemuinya, sekedar pamit dan memberi sebuah kecupan di keningnya. Mungkin bisa jadi itu adalah kecupan terakhir dariku untuknya, tak ada salahnya saya berpikiran seperti itu mengingat resiko bagi seorang pendaki adalah menemui penciptanya di gunung pula, dalam dekapan sang Alam. 10 menit, Cuma 10 menit waktu bagiku untuk menemuinya. Setidaknya memberi spirit tersendiri bagiku. Entah apa yang ada dalam benaknya. Bertolak dari SMU Neg 5 Makassar, kami pun melanjutkan perjalanan melalui jalur Aroepala – Malino. Sebelum tiba di Malino, kayaknya Alam menyambut kami dengan air hujannya seolah menggambarkan suasana haru bagiku karena meninggalkannya seolah untuk selamanya dan perasaan haru untuk segera kembali melepaskan rinduku diasah oleh angin dingin pegunungan. Sekedar berteduh, kami menemukan sebuah warung gorengan dan disanalah kami sejenak berhenti dan menikmati gorengan danbeberapa gelas minuman hangat. Lumayan untuk sekedar menghangatkan suasana yang dingin oleh hujan yang mengguyur bumi saat itu. 30 menit, hujan pun reda, kami pun kembali melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di desa lembanna sebelum magrib. Ternyata jalur Kampung Beru – Lembanna sudah beraspal, kawan. Dengan demikian, kami pun tak perlu lagi untuk turun dari motor dan berjalan kaki sekitaran 30 menit untuk tiba di Lembanna dari Kampung Beru. Saya tidak mengerti, apakah hal tersebut adalah berita gembira ataukah berita buruk bagi kawan-kawan pendaki lainnya. Pikirku, mungkin berita buruk bagi mereka yang merasa kehilangan pemanasannya. Namun bagiku, tak ada salahnya berpikiran positif karena dengan ini, penduduk Lembanna dapat dengan mudah untuk mengangkut hasil kebunnya. PELAJARAN PERTAMA : “Tak ada salahnya berpikiran positif!!!” Setibanya di Lembanna, kami pun merapatkan diri ke sebuah rumah milik seorang yang sangat familiar, bersahabat, dan bersahaja. Kami memanggilnya Tata’ Rasyid, orang tua bagi kami dan juga bagi ratusan bahkan ribuan pendaki lainnya. Tata’ Rasyid memang sangat akrab dikalangan pendaki mengingat beliau dengan bangganya mengabdi kepada Alam Bawakaraeng dengan mengabdikan dirinya sebagai Penolong bagi mereka yang tertimpa musibah disana. Oleh Tata’ Rasyid kami menemukan PELAJARAN KEDUA : “Ikhlas berbuat semata-mata Karena ALLAH SWT!!!”Luar biasa, tata’…semoga Allah SWT senantiasa memberikan Pertolongannya kepada Sang Penolong Kita. Desa Lembanna, Desa yang berada di kaki gunung Bawakaraeng merupakan desa yang sangat Subur Tanahnya, Ramah warganya, penuh dengan suasana kekeluargaan. Disanalah kami menghabiskan waktu semalam untuk sekedar beristirahat, mengumpulkan tekad dan tenaga untuk kembali melanjutkan perjalanan keesokan harinya menuju Lembah Ramma’. Untuk menuju Ramma’, jalur yang ditempuh tetap melalui gerbang Pos Berdoa (sejalan dengan arah menuju puncak Bawakaraeng) namun, akhirnya jalur terbagi dua pada Pos I Bawakaraeng yang mana sebelah kiri menuju ke Puncak Bawakaraeng sedangkan jalur yang kanan akan menuju ke Lembah Ramma’. Malam itu, Malam Sabtu 31 Oktober 2009, kami menghabiskan bulan oktober 2009 di desa yang indah ini. Menikmati makan malam yang nikmat dan beberapa gelas kopi penangkal hawa dingin pegunungan. Musim kemarau berkepanjangan ini menghembuskan angin dingin yang mampu menembus Jaket yang kukenakan. Selepas makan malam, kami kembali berbincang dengan Tata’ Rasyid. PELAJARAN KETIGA kami temui pada kesempatan itu : “Tak ingin Terkenal namun ingin selalu Dikenang.” Setidaknya prinsip itulah yang membuatnya tetap tegar melakoni hidupnya yang bersahaja namun bermakna. Perbincangan malam itu berlangsung singkat namun memberikan hamparan makna yang luas bagi kami. Dalam Suasana yang Dingin Saya memberikan diri untuk keluar sekedar mencari Sinyal untuk menghubunginya. Dapat, namun Putus-putus menghasilkan Perbincangan rindu yang terputus-putus. Saat itulah saya merasakan lemah dan rapuh tanpa kehadirannya, disanalah saya menemukan fakta bahwa saya memang benar-benar mencintainya.Astri. Dalam pencarian sinyal tersebut, saya juga menyempatkan diri untuk mengetok pintu Tata’ Rappe sekedar bertanya, “Apakah Teman-teman saya Dari MAHESA telah Tiba??” jawaban dari dalam : “Belum”. Saya pun kembali mencari sinyal, berhasil..namun, kali ini rasa kantuk darinya tak bisa ditahannya.kecewa berat melandaku. Dalam perasaan yang sedih kulangkahkan kakiku menuju ke rumah tata’ rasyid. Sekitaran 30 menit kemudian, pintu tata’ Rasyid diketok. Ternyata kami kedatangan tamu yang taka sing bagiku. Saudara seorganisasi, Karmani, yude’ dan feby. Sekedar mengabarkan bahwa rombongannya telah tiba dan merencanakan melakukan perjalanan malam itu juga. Berani dan beresiko menurutku, namun bagi tata’, PELAJARAN KEEMPAT diungkapkannya : “Sama Tujuan namun berbeda Rejeki”, sekiranya hamparan makna itu membuka mata kami keesokan harinya bahwasanya setiap manusia memang telah diberikan rangkaian takdir oleh sang pencipta. Setelah melepas rombongan karmani dkk, kami pun mengambil inisiatif untuk beristirahat dan melepas lelah. Suasana yang sunyi dan angin malam turut memberi andil bagi kami untuk segera memejamkan mata. Akhir Oktober – Awal November kami dapati di bawah atap rumah Tata’ Rasyid. Keesokan harinya, setelah sarapan dan packing ulang, tepat jam 10 pagi kami pun pamitan kepada Tata’ Rasyid untuk melanjutkan perjalanan menuju lembah Ramma’. Dan seperti biasanya, selaku orang tua dan Sebagai seorang yang berpengalaman beliau pun tak henti-hentinya mengingatkan kami untuk selalu berhati-hati dan jangan berpisah dalam perjalanan. Pada kesempatan itu, PELAJARAN KELIMA : “Jikalau kamu mencintai Gunung, apabila hujan badai datang maka mundurlah, gunung takkan berpindah tempat. Namun Jikalau Gunung Mencintaimu, maka tinggallah untuk memberikan kesuburan bagi tanahnya, tinggallah dalam dekapannya menuju Sang Pencipta”. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H