Mohon tunggu...
Altito Asmoro
Altito Asmoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Anak Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Kuomintang - Jepang dan Masa Pendudukan Jepang

25 Juni 2024   13:44 Diperbarui: 25 Juni 2024   14:33 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perang antara Kuomintang dan Jepang terjadi pada bulan Juli 1937, saat Jepang, melalui Lugouqiao, yang berada di wilayah Peking bagian selatan (Jembatan Marco Polo) dan menginvasi seluruh Cina tanpa mendeklarasikan invasi Jepang terlebih dahulu. 

Pada awalnya, invasi Jepang mendapatkan hasil sukses atas usaha invasi mereka di Cina dengan menguasai wilayah Peking, Tiensin, dan wilayah utara, beserta dengan wilayah Mongolia dan membentuk Pemerintahan Federal Mongolia sebagai negara boneka pro-Jepang di Mongolia dengan dukungan dari pemimpin – pemimpin feudal. 

Awalnya, pemerintahan Kuomintang berusaha mengevakuasi perlengkapan industri dan intelektual ke wilayah timur dan utara yang belum terkena invasi Jepang. 

Disaat yang sama, Cina berusaha mempertahankan diri di Wuhan, dengan hasil yang sama sekali tidak sukses, karena mereka akhirnya kehilangan Wuhan, Anhui, dan Jiangxi. Pada akhirnya, pasukan Kuomintang mengungsi ke wilayah Chongqing di Sichuan, dimana mereka mempertahankan front Chongqing selama enam tahun.

Kuomintang menggunakan strategi “menunggu dan melihat” untuk mengetahui seberapa besar kekuatan Jepang sebagai pasukan yang menyerang, juga karena keengganan Kuomintang untuk mengubah tatanan sosial dan politik dari “China Bebas” (“Free China”), karena melaksanakan perang dengan skala-besar melawan Jepang juga berarti melaksanakan perang terhadap sistem pemerintahan yang tidak kompeten dan korup, dan Chiang tidak akan membiarkan itu terjadi terhadap pemerintahan Kuomintang. 

Apalagi, Cina mengadopsi kebijakan luar negeri yang sama dengan kekuatan Barat lainnya, walaupun Cina memusatkan harapan mereka pada kemungkinan jika Jepang terlibat perang dengan salah satu kekuatan besar di Barat (Amerika Serikat, Inggris, dan atau Uni Soviet) untuk mengurangi beban pasukan Kuomintang dalam melawan pasukan Jepang di front Chongqing.

Selama 1937 – 1941, Uni Soviet, melalui Gubernur Xinjiang, Sheng Shi-cai, memberikan bantuan finansial, pesawat terbang, dan pilot – pilot untuk Kuomintang. Hubungan kedua negara semakin erat, dan pada tahun 1940, satu resimen Uni Soviet ditempatkan di Hami. Kesepakatan pertambangan 1940 juga memberikan Uni Soviet hak untuk melakukan ekskavasi dan operasi pertambangan di Xinjiang. 

Namun, bantuan Uni Soviet berhenti sejak April 1941 karena pakta neutralitas antara Jepang dan Uni Soviet. Sedangkan kekuatan Barat tidak membantu banyak, dan proses pengantaran bantuan tidak mudah dikarenakan kurangnya infrastruktur dari segi komunikasi dan transportasi.

Pasukan Kuomintang yang mendapatkan bantuan memiliki kekurangan yang masif, dengan inkompetensi, kekuasaan otoritas, dan sangat berisiko. Pasukan dipimpin berdasarkan keseimbangan kelompok – kelompok politis dan bukan atas kompetensi pemimpin militer. Jumlah pasukan Kuomintang juga terlalu besar, dan pasukan direkrut secara paksa, sehingga pada akhirnya sekitar sepertiga dari seluruh jumlah pasukan Kuomintang meninggal atau kabur, sebelum mereka mencapai front Chongqing. 

Korupsi juga merajalela dan mengurangi moral pasukan dan suplai pasukan Kuomintang. Stilwell, sebagai komandan penasihat Amerika di dalam tubuh militer Kuomintang setelah insiden Pearl Harbor, bersaing ketat dengan Chiang karena perbedaan prinsip antara pasukan modern dan efisien, dibawah kuasa Amerika Serikat sesuai keinginan Stilwell, dan pasukan yang besar, tidak efisien, namun dibawah kuasa Cina dan Kuomintang sesuai keinginan Stilwell. Partai Komunis dan Kuomintang sudah memulai hubungan untuk normalisasi hubungan diplomatik, namun perbedaan prinsip dalam melawan Jepang menyulitkan proses normalisasi hubungan diplomatik antara kedua pihak.

Ekonomi rezim Kuomintang berubah drastis karena inflasi dan perubahan situasi ekonomi di Cina, dimana kelompok borjuis industrial tidak diandalkan lagi sedangkan hubungan dengan kelompok petani ditingkatkan untuk mengandalkan ekonomi pertanian. Ketidaksanggupan pemerintahan Chiang dalam mengontrol situasi ekonomi, politik, dan sosial memberikan jalan bagi kekuatan oposisi demokratik dengan dukungan dari Amerika Serikat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun