PISA (Programme for International Student Assessment) merupakan salah satu program penilaian skala internasional yang sudah rutin diikuti oleh Indonesia setiap tiga tahun sekali sejak tahun 2000.
Dalam perkembangannya, program penilaian yang dilaksanakan oleh PISA ini semakin banyak diikuti oleh berbagai negara. Temuan dari hasil PISA ini selanjutnya banyak digunakan oleh negara-negara peserta sebagai bahan untuk mengambil kebijakan mengenai sistem pendidikan di negaranya.
Pada PISA ini dilakukan asesmen terhadap 3 aspek, yaitu literasi sains, literasi matematika dan kemampuan membaca. Dalam pelaksanaan penilaiannya, PISA tidak dibatasi oleh disiplin atau mata pelajaran tertentu. PISA mempertimbangkan keterampilan dan karakteristik siswa yang lebih luas.
Lalu bagaimana posisi Indonesia selama ikut serta dalam program ini?
Berdasarkan hasil PISA sejak tahun 2000 sampai 2015, dari tiga aspek yang dinilai pada PISA yaitu literasi sains, Matematika dan membaca, Indonesia masih menduduki peringkat yang kurang baik.
Pada hasil PISA terakhir yakni 2015 menunjukkan bahwa skor literasi sains yang diperoleh Indonesia sebesar 403 mengalami kenaikan dari 382 yang diperoleh pada tahun 2012. Skor matematika pun mengalami kenaikan dari 376 (2012) menjadi 386 (2015). Sementara itu skor kemampuan membaca yang diperoleh Indonesia pada tahun 2015 mengalami kenaikan satu poin dari 396 menjadi 397.
Meskipun secara umum mengalami kenaikan, namun jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang berpartisipasi dalam PISA ini. Indonesia menduduki peringkat 62 dari 70 negara peserta. Sementara itu, Singapura menempati urutan pertama, Vietnam urutan ke-8 dan Thailand menempati urutan ke-55.
Tentu banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan posisi peringkat pada hasil PISA 2015 tersebut. Namun demikian, hasil PISA ini sedikit banyak memberikan gambaran mengenai kualitas sistem pendidikan pada suatu negara.
Pada sebuah artikel di laman The ASEAN post disebutkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya dalam hal penilaian PISA ini.
Pada laman tersebut disebutkan bahwa hasil temuan dari Lowy Institute menunjukkan bahwa salah satu masalah utama dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah "politics and power". Â Lowy Institute menyebutkan hanya sedikit dorongan bagi para elit di Indonesia untuk melakukan sebuah perombakan sistem pendidikan secara drastis.
Secara umum peromabakan yang dilakukan masih berkutat pada hal-hal yang bersifat kurang esensi, misalnya perubahan nama kurikulum yang hampir setiap ganti kekuasaan berganti nama kurikulum. Namun secara esensi pelaksanaan di lapangan masih tetap saja seperti tidak mengalami perubahan yang drastis.
Perombakan sistem pendidikan ini pada akhirnya memang akan berkaitan erat dengan politik dan power. Sebagus apapun usulan sistem pendidikan dari suatu kelompok, namun jika tidak memiliki kekuatan yang cukup di parlemen dan pemenrintahan, maka hanya akan menjadi wacana yang tidak kunjung selesai.
Lebih lanjut pada ASEAN post dituliskan bahwa UNICEF menyebutkan salah satu penyebab masih tertinggalnya Indonesia dari negara lain dalam hal pendidikan ini adalah akses pendidikan yang masih sulit terjangkau semua kalangan.
UNICEF menyebutkan bahwa anak-anak usia dini di pedesaan terpencil memiliki keterbatasan dan kesulitan dalam menjangkau pendidikan seperti anak-anak di perkotaan. Hal ini menyebabkan hilangnya kesempatan dan peluang untuk belajar lebih awal bagi anak-anak di pedesaan terpencil.
Pada sisi lain, dalam ASEAN post juga dituliskan bahwa UNICEF menyatakan bahwa tertinggalnya Indonesia dari negara lain dikarenakan Indonesia termasuk negara yang rawan mengalami bencana. Sering terjadnya bencana di Indonesia (seperti banjir, longsor, gempa bumi dan lainnya) sedikit besarnya akan berpengaruh terhadap proses pendidikan yang berlangsung.
Point-point tersebut menjadi tantangan untuk semua pihak yang bertemali dengan dunia pendidikan, peningkatan kualitas sistem pendidikan harus menjadi konsen bersama agar mampu menghasilkan sumber daya manusia yang bisa bersaing di kancah internasional.
Penilaian-penilaian skala Internasional seperti PISA bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengevaluasi keberjalanan dari sistem pendidikan yang diterapkan pada berbagai jenjang. Setiap hasil penilaian, kiranya perlu disikapi dengan bijak sehingga diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang akan membawa pada perubahan yang lebih baik.
Hasil PISA 2015 pastinya sudah disikapi dengan berbagai kebijakan yang sudah diterapkan pada berbagai aspek. Kini kita nantikan hasil PISA 2018 yang bisa dijadikan salah satu tolak ukur ketercapaian dari kebijakan yang telah dikeluarkan pasca hasil PISA 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H