Mohon tunggu...
ALTI NURMUHARIATY KUSMAYADI
ALTI NURMUHARIATY KUSMAYADI Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan

Karyawan swasta yang sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bukan Cuma Ikan yang Berenang di Laut, Mikroplastik Juga

24 April 2020   20:34 Diperbarui: 24 April 2020   21:30 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Kita menuai apa yang kita tanam" peribahasa tersebut sangat pas untuk menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan. Seperti yang kita tahu, banyak bencana alam yang terjadi akibat dari perbuatan manusia; banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan sebagainya.

Tidak berbeda halnya dengan pencemaran mikroplastik pada ekosistem laut. Pernahkah terbayangkan oleh kita bahwa bisa jadi selama ini kita memasukkan sampah ke dalam tubuh kita sendiri? Dan bisa jadi sampah tersebut adalah sampah yang kita buang sendiri?

Begitulah kira-kira dampak yang dihasilkan dari pencemaran mikroplastik pada ekosistem laut, bahwa bukan hanya ekosistem laut yang terdampak tetapi juga kita sebagai manusia.

Bagaimana asal muasal plastik?

Plastik berasal dari Bahasa Yunani 'plastikos' yang berarti 'dapat dibentuk atau dicetak' (Hammer et al., 2012). Plastik adalah polymer, penjelasan sederhana dari polymer adalah sesuatu yang terbuat dari banyak kesatuan. Polymer adalah serangkaian rantai molekul dimana tiap rantainya mengandung karbon, hidrogen, oksigen dan/atau silikon (Halden, 2010).

Polymer dapat berupa bahan alami maupun sintetis; selulosa, serat protein (sutera, wol) dan pati termasuk ke dalam bahan polymer alami (Kershaw, 2016).

Para peneliti berpendapat bahwa Perang Dunia II telah merubah dunia dan merupakan awal mula perkembangan industri plastik karena pada saat itu tembaga, alumunium dan besi menjadi sangat berharga untuk memenuhi kebutuhan militer. Kemudian plastik dengan cepat digunakan sebagai bahan pabrikan, dan akibatnya produsen bahan, pembuatan mesin dan cetakan menjadi berkembang pesat.

Setelah Perang Dunia II berakhir, usaha-usaha sipil tetap membutuhkan plastik agar industry dan bisnis tetap berjalan. Dengan cepat, pasar kewalahan dengan permintaan plastik yang dinilai masyarakat sebagai bahan yang "murah dan sekali pakai" (Thompson et al., 2009)

Plastik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak abad ke-19. Kita bisa menemukan plastik hampir disetiap aktifitas kita. Coba cek isi tas kita dan lihat apa ada barang di dalamnya yang tidak terbuat dari plastik? Saya yakin setidaknya satu dua barang yang ada di dalam tas kita terbuat dari plastik. Penggunaan kantong plastik sekarang ini juga sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.

Siapa yang tidak menggunakan kantong plastik untuk membawa barang belanjaannya? Atau untuk menampung sampah?

Percaya ga percaya, sebenarnya plastik pertama kali diciptakan untuk menyelamatkan lingkungan karena jaman dulu orang memakai kantong kertas sebagai pembungkus atau kantong belanja dimana hal ini menyebabkan banyaknya penebangan pohon untuk bahan baku pembuatan kertas.

Pada tahun 1965, kantong plastik berbahan polyethylene dipatenkan oleh sebuah perusahaan asal Swedia bernama Celloplast. Sejak saat itu, kantong plastik dengan cepat menggantikan penggunaan kantong kertas karena lebih kuat dan dapat dipakai berkali-kali (UNEP, 2018).

Namun, banyak orang yang menggunakan kantong plastik untuk sekali pakai sehingga sampah plastik menjadi permasalahan lingkungan baru.

Padahal selain untuk mengurangi penebangan pohon untuk produksi kertas, tujuan dibuatnya kantong plastik ini agar bisa dipakai berkali-kali untuk meminimalisir produksi sampah.

Mikroplastik, kecil tapi berbahaya

Kita sudah tahu tentang plastik, bagaimana dengan mikroplastik? Mikroplastik adalah istilah yang biasa digunakan oleh peneliti untuk mendefinisikan serpihan plastik dengan ukuran diameter < 5mm. Umumnya, mikroplastik terbagi atas mikroplastik primer dan sekunder.

Mikroplastik primer dibuat sedemikian rupa dan digunakan sebagai butiran resin untuk menghasilkan material yang lebih besar atau secara langsung dalam produk kosmetik seperti scrub wajah dan pasta gigi. Mikroplastik sekunder terbentuk dari disintegrasi serpihan-serpihan plastik yang lebih besar (Wagner & Lambert, 2018).

Sebagian besar polymer mengapung di air, dan karena benda-benda yang terbuat dari serpihan plastik seperti karton dan botol dapat menangkap udara, maka serpihan-serpihan plastik dalam jumlah besar menumpuk di permukaan laut dan terbawa ke daratan.

Akibatnya, serpihan plastik banyak ditemui dalam jumlah yang besar (50-80%) pada garis pantai (Barnes et al., 2009). Terlepas dari sifatnya yang dapat mengapung, plastik dapat bercampur dengan kehidupan laut dan membentuk sedimen yang menyebabkan benda-benda tenggelam ke dasar laut.

Penelitian yang dilakukan oleh Oigman-Pszczol & Creed (2007) membuktikan bahwa dasar laut dangkal di Brazil lebih terkontaminasi daripada garis pantai terdekat, hal ini menunjukkan bahwa dasar laut bisa jadi merupakan tempat pembuangan akhir bahkan untuk serpihan-serpihan yang sebelumnya mengapung (Barnes et al., 2009).

Bagaimana material yang berukuran kurang dari 5mm dapat menjadi ancaman bagi kehidupan laut? Seperti yang sudah kita ketahui, plastik sudah masuk dalam kehidupan manusia sejak abad ke-19, maka bisa dibayangkan berapa banyak sampah plastik yang terakumulasi sejak saat itu? Menumpuknya sampah plastik di lingkungan, termasuk laut adalah akibat dari pengelolaan sampah yang tidak tepat, perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, atau polusi yang tidak disengaja (Barnes et al., 2009).

Di Indonesia, produksi plastik mencapai 1,9 juta ton pada tahun 2013 dengan rata-rata laju produksi mencapai 1,65 juta ton per tahun (Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, 2013). Dengan demikian, diperkirakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan peringkat kedua terbesar penghasil dan pengkonsumsi plastik (Jambeck & Johnsen, 2015).

Plastik tidak dapat terurai secara alami dan dapat bertahan selama bertahun-tahun, sampai akhirnya dibakar atau didaur ulang. Sebagian sampah plastik yang tidak sampai ke tempat pembuangan akhir akan 'berkelana' di muka bumi dengan bantuan angin sampai akhirnya tiba di sungai dan pada akhirnya bermuara di laut. Perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dalam menghasilkan sampah ketika plastik dibuang begitu saja yang bukan pada tempatnya, seperti laut (Barnes et al., 2009).

Sebagian besar material polymer yang terdapat di lingkungan dapat didegradasi dengan bantuan berbagai factor termasuk oksidasi termal (pembakaran), foto-oksidasi, biodegradasi, dan hidrolisis. Kebanyakan plastik yang ditemukan di lingkungan laut adalah tidak dapat terurai secara alami (non-biodegradable) dan umumnya terurai melalu degradasi foto-oksidasi (Hammer et al., 2012).

Keberadaan mikroplastik di laut dapat menurunkan biomassa microphytobenthos (merupakan produsen utama penghasil makanan) pada habitat sedimen karena menghalangi cahaya. Akibatnya, hal ini dapat mengubah proses biogeokimia seperti dekomposisi zat organik yang penting untuk menghasilkan nutrisi anorganik (seperti nitrogen dan amonium). Akhirnya, mikroplastik mengganggu proses produksi utama dari rantai makanan pada ekosistem laut (Green et al., 2015).

Dengan ukurannya yang sangat kecil, secara alami mikroplastik dapat dicerna/dimakan oleh organisme laut. Beberapa studi laboratorium menunjukkan bahwa organisme yang memakan mikroplastik diantaranya adalah detritivora (pemakan materi organik yang mati, seperti ampiphoda), deposit feeders (pemakan partikel dan mikroorganisme terkecil, seperti lugworm -- cacing pasir), filter feeders (hewan penyaring, pemakan partikel dan materi organik, seperti barnacle dan bivalvia), dan deposit dan suspension feeders (pemakan partikel yang melayang, seperti timun laut dan copepoda) (Graham & Thompson, 2009; Thompson et al., 2004). Plastik yang terkonsumsi dapat mengiritasi sistem pencernaan organisme laut tersebut (Betts, 2009) dan lebih jauh lagi dapat menyebabkan masalah serius lainnya karena plastik yang terkonsumsi tersebut juga menyerap polutan organik (Teuten et al., 2009). Pengkonsumsian mikroplastik oleh organisme laut dapat terjadi karena mereka salah mengira mikroplastik adalah makanan (Van Cauwenberghe et al., 2012). Jika kita melihat lebih jauh lagi rantai makanan yang terjadi, organisme-organisme kecil yang memakan mikroplastik tersebut akan dimakan oleh organisme yang lebih besar seperti ikan, kemudian akan mengendap di dalam pencernaan ikan-ikan tersebut. Bayangkan jika kemudian ikan-ikan tersebut dikonsumsi oleh manusia. Tidak salah jika di awal tulisan ini saya mengatakan manusia bisa jadi mengkonsumsi sampah yang dibuangnya sendiri secara tidak bertanggung jawab.

Tanggung jawab kita bersama

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan sampah plastik adalah masalah perilaku manusia dalam pengelolaan sampah itu sendiri. Cara sederhana yang dapat kita lakukan untuk mengurangi sampah plastik berakhir di laut adalah dengan penggunaan kantong plastik yang bijak melalui penerapan konsep reuse-reduce-recycle (3R). Pengaturan kebijakan penggunaan plastik juga sudah mulai diberlakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan yang melarang penggunaan kantong plastik di beberapa daerah di Indonesia dan penggunaan kantong plastik berbayar.

Bumi ini telah memberikan banyak untuk kehidupan kita, sudah saatnya kita membalasnya dengan menjaga bumi agar tetap seimbang. Berkaca dari banyaknya kejadian bencana alam baik di darat, laut maupun udara, dan perubahan lingkungan yang terjadi, sudah sepatutnya bumi menuntut perbaikan atas kerusakan yang kita lakukan. Ingatlah bahwa kita "kita menuai apa yang kita tanam".   

Daftar Literatur:

Barnes, D. K. A., Galgani, F., Thompson, R. C., & Barlaz, M. (2009). Accumulation and fragmentation of plastic debris in global environments. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 364(1526), 1985--1998. https://doi.org/10.1098/rstb.2008.0205
Betts, K. (2009). Why small plastic particles may pose a big problem in the oceans. Environmental Science and Technology. https://doi.org/10.1021/es802970v
Graham, E. R., & Thompson, J. T. (2009). Deposit and suspension-feeding sea cucumbers (Echinodermata) ingest plastic
fragments. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. https://doi.org/10.1016/j.jembe.2008.09.007
Green, D. S., Boots, B., Blockley, D. J., Rocha, C., & Thompson, R. (2015). Impacts of discarded plastic bags on marine assemblages and ecosystem functioning. Environmental Science and Technology, 49(9), 5380--5389. https://doi.org/10.1021/acs.est.5b00277
Halden, R. U. (2010). Plastics and Health Risks. Annual Review of Public Health, 31(1), 179--194. https://doi.org/10.1146/annurev.publhealth.012809.103714
Hammer, J., Kraak, M. H. S., & Parsons, J. R. (2012). Plastics in the Marine Environment: The Dark Side of a Modern Gift. In Reviews of Environmental Contamination and Toxicology (Vol. 220, Issue April). https://doi.org/10.1007/978-1-4614-3414-6
Kershaw, P. J. (2016). Marine plastic debris and microplastics -- global lessons and research to inspire action and guide policy change. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.30493.51687
Oigman-Pszczol, S. S., & Creed, J. C. (2007). Quantification and Classification of Marine Litter on Beaches along Armao dos Bzios, Rio de Janeiro, Brazil. Journal of Coastal Research, 232(March), 421--428. https://doi.org/10.2112/1551-5036(2007)23[421:qacoml]2.0.co;2
Teuten, E. L., Saquing, J. M., Knappe, D. R. U., Barlaz, M. A., Jonsson, S., Bjrn, A., Rowland, S. J., Thompson, R. C., Galloway, T. S., Yamashita, R., Ochi, D., Watanuki, Y., Moore, C., Viet, P. H., Tana, T. S., Prudente, M., Boonyatumanond, R., Zakaria, M. P., Akkhavong, K., ... Takada, H. (2009). Transport and release of chemicals from plastics to the environment and to wildlife. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 364(1526), 2027--2045. https://doi.org/10.1098/rstb.2008.0284
Thompson, R. C., Moore, C. J., Saal, F. S. V., & Swan, S. H. (2009). Plastics, the environment and human health: Current consensus and future trends. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 364(1526), 2153--2166. https://doi.org/10.1098/rstb.2009.0053
Thompson, R. C., Olson, Y., Mitchell, R. P., Davis, A., Rowland, S. J., John, A. W. G., McGonigle, D., & Russell, A. E. (2004). Lost at Sea: Where Is All the Plastic? Science, 304(5672), 838. https://doi.org/10.1126/science.1094559
Van Cauwenberghe, L., Claessens, M., Vandegehuchte, M. B., & Janssen, C. R. (2012). Occurrence of microplastics in mussels (Mytilus edulis) and lugworms (Arenicola marina) collected along the French-Belgian-Dutch coast. Book of Abstracts -VLIS Young Scientists' Day. Brugge Belgium, 24 February 2012. VLIZ Special Publication 55. Vlaams Instituut Voor de Zee -- Flanders Marine Institute (VLIZ): Oostende, Belgium. Xi + 150p., 27(5), 87. https://doi.org/10.1111/pcmr.12292
Wagner, M., & Lambert, S. (2018). Freshwater Microplastics - The Handbook of Environmental Chemistry 58. 302. https://doi.org/10.1007/978-3-319-61615-5
From Birth to Ban: A history of the plastic shopping bag. Diakses pada 23 April 2020, pk. 22.26 WIB https://www.unenvironment.org/news-and-stories/story/birth-ban-history-plastic-shopping-bag

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun