Pada saat itu, disuatu sore, di sebuah tempat yang disebut dengan perpustakaan umum, terdapat seorang gadis dan ayahnya yang menemaninya untuk membaca. Anak itu membaca banyak sekali cerita dongeng, entah cerita rakyat seperti malin kundang, atau cerita anak seperti kancil dan buaya.
Sore itu benar-benar cerah, seperti Tuhan memberikan sedikit kebaikannya untuk hari itu. goresan kuning menghiasi langit yang dengan pohon-pohon yang bersenangdung ditiupkan oleh hembusan angin.
Perpustakaan itu tampak senyap, hanya ada mereka berdua dan tak ada siapapun disana. terlihat seperti sebuah tempat yang adem dan nyaman untuk menyendiri dan menenangkan diri dari hiruk pikuk perkotaan. Namun tetap membuatnya terasa sepi, tapi justru hal itulah yang menjadi waktu berharga antara hubungan anak dengan ayahnya.
"yah, ini namanya buaya ya?"
"haha.. iya, itu namanya buaya. kalau kamu udah gede nanti, jangan terlalu tertipu dengan penampilannya ya"
"emang kenapa sama penampilannya?"
"gak ada yang salah, tapi kamu harus tahu kalau penampilan itu bukanlah suatu yang menentukan apakah orang itu baik atau jahat"
"emang orang banyak yang jahat ya yah?"
Tak lama mereka berbincang, seorang pemuda dengan setelan hitam dan wajahnya yang tidak tersenyum sama sekali memasuki ruangan tersebut. keduanya terdiam memandangi pemuda itu.
Berjalan memandangi sekitar dan akhirnya padangannya fokus pada suatu rak buku yang ada disana. ia datang, menghampiri, dan mencari sebuah buku yang ingin ia baca, sebuah buku non-fiksi, setidaknya itulah yang mereka ketahui mengenai rak yang pemuda itu datangi.