Mohon tunggu...
Aldin DJapari
Aldin DJapari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Already to fight with other, to save our nation and glory http://aldjapari.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Baronda Namrole, Buru Selatan

21 Juli 2014   11:14 Diperbarui: 4 April 2017   17:39 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terjebak diantara kesunyian dan hasrat metropolitan. Saya mulai nyaman, dengan kehidupan para nelayan. Hidup dengan pertaruhan alam. Demi kebutuhan sandang dan papan. Anak-anak mesti sekolah, mesti sorenya mencari kerang. Diantara ganas ombak yang garang. Kehidupan seperti bola berputar kencang kearah gawang. Demi esok hari, diatas meja terdapat daun bawang. Diujung dermaga beratap bintang, Musim timur segeralah pulang... ¬ Namrole, 27 Juni 2014, 22.40 WIT Hari masih pagi, ketika itu dibangsal penumpang KM. Elizabeth 2 yang semalam lepas dari pelabuhan Ambon, Maluku.Ombak di musim timur sukses membuatku mabuk laut, perjalanan 12 jam menuju pulau Buru cukup mengguncang manusia-manusia dalam besi mengapung itu. Ketika menyapa mentari, sudah nampak pula daratan pulau tujuan, tepatnya di selat antara pulau Buru dan Ambalao. Awan mendung yang seolah mengatapi deretan pulau Buru dengan pegunungannya cadas, tempat dimana ribuan orang diasingkan di era orde baru, yang katanya terlibat dalam gerakan komunis terlarang di jamannya.Sekilas nampak terdengar menyeramkan, apalagi mengingat tragedi kerusuhan di hampir seluruh penjuru Maluku beberapa tahun silam. Tapi cerita itu hanyalah alamat masa lalu, kini Maluku terus berbenah, dengan potensi wisata yang luar biasa, pembangunan infrastruktur, perbaikan kualitas pendidikan, merevitalisasi potensi mata pencaharian penduduk atau bukankah Maluku adalah pintu gerbang strategis rempah-rempah dunia di masa yang lalu?

Akhirnya kapal berlabuh di pelabuhan Namrole, Kabupaten Buru Selatan. Di tengah musim ombak, perairan di kolam pelabuhan cukup tenang, ini dikarenakan sebuah daratan yang memisah dari tak jauh dari pelabuhan seolah menjadi benteng penangkis ombak dari laut dalam Banda. Dan di tempat inilah saya dan beberapa rekan akan menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengisi jurnal penelitian sarjana teknik yang saya jalani (ehm). Hujan disertai angin seolah menari menyambut pagi itu, sedikit dramatis juga mengangkut barang-barang yang jumlahnya harus dipikul bolak-balik. Namun, secerek kopi yang disediakan penginapan saya kira impas, mengakrabkan, mengusir dingin dan sisa mabuk semalam.

Cukup banyak informasi online yang bisa kita dapatkan dari potensi Kabupaten Buru Selatan. Semenjak mekar dari Kabupaten Buru pada tahun 2008, wilayah ini terlihat terus berbenah. Walaupun secara fisik dan kemajuan pertanian sangat berbanding terbalik dengan Namlea, Kabupaten Buru. Akses transportasi laut dari ibukota provinsi dengan kapal reguler dan kapal feri masing-masing dua kali seminggu. Kapal PELNI hanya berlabuh sekali dalam dua minggu. Transportasi udara kembali dibuka tanggal 6 Juli lalu dengan maskapai berbeda dua minggu sekali pula. Sementara akses darat yang ditempuh dari kabupaten seberang berjarak kurang lebih 140 km, dengan waktu tempuh 4 jam. Lintas kabupaten ini dijelajahi dengan kendaraan off-road karena sulitnya medan jalan di daerah puncak sedang dalam perbaikan. Bahkan tidak sedikit kita lewati sungai karena jembatan rusak atau memang belum ada. Sebagian besar pula, disepanjang pesisir pantai di Buru Selatan abrasi parah akibat pengerukan pasir dan kerikil untuk kebutuhan pembangunan. Masyarakat yang mulai sadar akan bahaya yang mengancam apabila pengerukan terus dilakukan, kini bahu membahu untuk membangun upaya konservatif terhadap wilayah pesisir. Akses jaringan seluler cukup memprihatinkan di daerah ini, apalagi internet, tidak ada warnet, jaringan data pun lancar pada dini hari, listrik masih pemadaman bergilir (efek perbaikan jaringan PLN), jadi dikatakan wajar kalau pulau pesisir ini dikategorikan daerah tertinggal. Walaupun sudah terdapat beberapa mobil internet, tapi kondisinya pun tidak begitu bisa diandalkan. Ini salah satu kendala, di era serba informasi ini dan itulah alasan mengapa tempat ini sungguh mengesankan. Serta, sekaligus itulah hutang pemerintah dan lembaga terkait untuk terus memajukan daerah pelosok seantero negeri.

Sepak bola, masih murah ditempat seperti ini.. Seperti halnya kebanyakan orang dengan jiwa petualang yang selalu penasaran dengan daerah-daerah tertinggal atau terpolosok, saya pun bersemangat menggali secuil ke’asli’an Indonesia yang tersimpan di daerah ini. Hanya sebagian kecil, dari total 17.840 pulau yang ada. Dengan pengalaman menjelajah yang minimun tuk menilai sebuah kawasan baru yang minim informasi, tempat ini ternyata sangat cocok berpose cihua-hua (pose berfoto favorit jika berada di tempat yang luar biasa indahnya. Hhe). Daerah tertinggal namun menyimpan segudang pesona. Saya pun begitu bersemangat menyampaikan salam perkenalan dari Namrole. Hampir keseluruhan desa berada di garis pantai, sudah tentu target pengembangan wisata pantai menjadi prioritas dalam kawasan ini. Di waktu musim timur ombak di pinggir pantai Namrole cukup tinggi. Disaat para nelayan rehat menghindari terjangan ombak, sebagian warga dapat kita jumpai bermain papan selancar di desa Waenono. Gulungan ombak dilaut dimusim timur dalam Banda menjadi pemandangan menarik dan mengagumkan dengan ketinggian sampai diatas 2 meter. Diwaktu senggang saat menikmati pantai dengan puluhan muara ini, airnya berbeda dengan pantai biasanya, bening, dingin dan tidak terlalu asin. Menyenangkan berenang ditengah gulungan ombak dengan dasar batu kerikil. Sebuah desa adat pesisir bernama Elfule kita temukan cagar budaya rumah-rumah adat. Di pantai desa Lektama-Fatmite, sedikit berbeda dengan di Waenono, airnya hijau bening, pasirnya putih kecoklatan dan gulungan ombaknya juga tinggi. Bahkan di beberapa spot, hamparan karang sangat jelas terlihat dari atas perahu, boleh cocok untuk snorkeling. Hamparan pasir pantai berbulir kasar yang jauh membentang, membentuk cekungan-cekungan kita akan sering menemukannya di pantai sisi selatan pulau Buru ini. Secara berurutan garis pantai antar desa diatas sambung menyambung sejauh tiga kilometer, dimulai dari Waenono, Elfule, Lektama dan Fatmite. Ada satu lagi tempat di Kecamatan Namrole yang sempat dikunjungi, pantai di Desa Masnana, ombak disini terlihat lebih panjang, tinggi dan menyeramkan, dengan garis pantai yang lebih panjang dan pasir yang lebih halus tempat ini juga menjadi andalan wisata warga setempat. Ya, mungkin saja lebih indah saat air tenang tidak seperti sekarang. pantai Lektama.

Kawasan adat Elfule

Survei Topografi pantai desa Waenono Pantai Masnana usai badai.. Lebih dua minggu tepat diwaktu momentum piala dunia sepakbola 2014 (yang ternyata penggemar fanatik mendominasi di daerah ini, sampai bendera negara kebanggaan dikibarkan di rumah atau tempat-tempat strategis lainnya, mengalahkan jumlah bendera sang saka merah putih malahan), momentum Pemilihan Presiden 9 Juli, dan juga bertepatan dengan bulan Ramadhan, di Namrole waktu sangatlah berasa. Dominasi masyarakat pesisir di Namrole adalah pendatang, sebagian besar dari Ambon, Buton, dan Bugis. Kabarnya, masyarakat Buru asli tinggal di daerah pegunungan, saat di perjalanan mudah saja mengenalnya, membawa parang khas atau tombak serta perlengkapan berburu dan bertani lainnya, walau tak sempat berkomunikasi, terlihat dari air wajahnya mereka sangat ramah dan murah senyum, bersahabat. Sementara tidak jauh dari kawasan pesisir, kebun kelapa berjejer rapi di lembah-lembah pegunungan. Kopra, salah satu mata pencaharian penduduk didaerah ini. Daerah yang juga cukup terkenal penghasil Tuna ini, membuat kawasan Namrole ramai didatangi nelayan musiman. Hasil laut dan kebun bisa dengan mudah kita temui saat hari pasar, Rabu dan Sabtu. Beribu keinginan untuk menggali lebih dalam kehidupan para nelayan, bertandang ke Kecamatan Leksula yang mempunyai segudang tempat unik dan sangat menarik untuk dijelajahi, menagamati lebih jauh tentang kehidupan suku pedalaman, tidak tercapai, tapi hal tersebut menjadi harapan dan alasan untuk mengunjungi ini berkali-kali lagi. Pengalaman yang mengesankan karena setiap harinya memandang dan bermain-main di laut. Walaupun akses transportasi ke Kecamatan ataupun Kabupaten tetangga belum maksimal, tapi upaya pemerintah terlihat untuk menjadikan Pulau Buru Selatan menjadi kawasan dengan potensi wisata yang tak kalah menarik dibandingkan objek wisata andalan di Maluku. Akankah menandingi pantai Ora? Atau kehalusan pasir kepulauan Kei? Saya belum bisa membandingkannya. Semoga J Dapat salam dari bocah pencari kerang Fast link : - Buru Selatan (Wikipedia) - Potensi Wisata Buru Selatan - Buru Selatan dalam Angka - Video Profil Pulau Buru (youtube) all RAW picture, contact : FB (balai.bambu), Twitter (@aldjapari), Instagram (@aldjapari)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun