AI Otonom: Bagaimana Manajemen Etika Dapat Menjamin Tanggung Jawab dan Keadilan
Interaksi antara manusia dan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah menjadi semakin kompleks seiring dengan kemajuan teknologi yang pesat. Dalam konteks organisasi, AI tidak lagi sekadar alat bantu, tetapi telah bertransformasi menjadi entitas yang mampu bertindak secara otonom dalam berbagai aspek pekerjaan. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana manajemen etis harus diterapkan dalam interaksi antara manusia dan AI.
Artikel yang ditulis oleh Teresa Heyder, Nina Passlack, dan Oliver Posegga dalam Journal of Strategic Information Systems edisi Agustus 2023, membahas isu ini secara mendalam. Mereka mengkaji manajemen etika dalam interaksi manusia-AI melalui tinjauan teoretis yang menggunakan pendekatan sosioteknis dan sosiomaterialitas, menghasilkan kerangka kerja yang tidak hanya relevan secara akademis tetapi juga praktis.
Artikel ini menemukan bahwa semakin otonomnya AI menuntut adanya keseimbangan antara etika deontologis, yang berfokus pada prinsip dan aturan, dan etika kebajikan, yang menekankan nilai moral individu. Dengan menggunakan data dari berbagai studi sebelumnya, artikel ini menyoroti bagaimana entanglement antara manusia dan AI dapat menghasilkan pola interaksi yang etis maupun tidak etis di dalam organisasi.
Penulis juga menyoroti bahwa pengelolaan interaksi manusia-AI harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek etika yang ada, untuk menghindari konsekuensi negatif yang tidak diinginkan. Penelitian ini sangat relevan mengingat peran AI yang semakin dominan dalam lingkungan kerja modern, di mana keputusan-keputusan strategis tidak hanya berdampak pada efisiensi organisasi tetapi juga pada kesejahteraan karyawan dan keadilan dalam distribusi tugas.
***
Dalam artikelnya, Heyder et al. (2023) menekankan pentingnya pendekatan yang komprehensif dalam mengelola interaksi antara manusia dan AI. Mereka menguraikan bahwa AI, yang mampu bertindak secara semi-otonom, memiliki potensi untuk mengubah sifat dasar pekerjaan manusia. Ini terlihat dalam contoh bagaimana AI dapat mengambil alih tugas-tugas rutin, yang kemudian mengubah fokus karyawan dari pekerjaan manual menjadi tugas-tugas yang lebih kreatif. Namun, transformasi ini juga menimbulkan tantangan etis yang signifikan, terutama ketika AI mulai mengambil keputusan yang sebelumnya berada dalam domain manusia.
Sebagai contoh, dalam studi yang dikutip penulis, ditemukan bahwa AI memiliki kontribusi sebesar 30% dalam keputusan perekrutan di beberapa perusahaan teknologi pada tahun 2022. Meskipun hal ini meningkatkan efisiensi, ada kekhawatiran tentang bagaimana bias algoritmik dapat mempengaruhi keputusan tersebut, terutama dalam konteks keadilan dan inklusivitas.Â
Selain itu, AI yang bertindak secara otonom sering kali menimbulkan perasaan kehilangan kendali di antara karyawan, yang bisa mengarah pada berkurangnya tanggung jawab individu dan menurunnya kualitas kerja sama antar tim.
Penulis juga menyoroti bagaimana sosioteknis dan sosiomaterialitas, dua teori utama yang digunakan dalam artikel ini, dapat membantu menjelaskan kompleksitas interaksi manusia-AI. Sosioteknis menekankan pentingnya memahami bahwa teknologi dan manusia tidak bisa dipisahkan dalam konteks organisasi; keduanya saling mempengaruhi dan membentuk satu sama lain.Â
Di sisi lain, sosiomaterialitas memperdalam analisis ini dengan menunjukkan bahwa setiap interaksi antara manusia dan AI menciptakan entanglement, di mana setiap entitas (manusia atau AI) dipengaruhi oleh keberadaan dan tindakan entitas lainnya. Misalnya, ketika AI digunakan untuk meningkatkan kinerja manusia dalam pengambilan keputusan, ada risiko bahwa manusia akan semakin bergantung pada AI, yang pada akhirnya dapat mengurangi kemampuan kritis mereka.