Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pathok Bandara, Sebuah Novel 27

29 Februari 2016   20:51 Diperbarui: 29 Februari 2016   21:09 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="alsayid.paint"][/caption]

 

ini cerita yang kemarin

http://fiksiana.kompasiana.com/alsayidjumianto/pathok-bandara-sebuah-novel-26_56d2d04d577b61567c4b341c

Disudut kantor sekolahan kami yang amulai sepi dari aktivvitas siswa kami di Kota Batas ini aku berdialog dengan bapak Guru PKN bapak Sayid yang tahu tentang hukum dan aku mencoba mencari ilmu padanya, tentang maslah yang menimpa pendapa kami yang  tiba-tiba diserang oleh segerombolan orang dan semua sudah jelas karena kami baru tahu itulah ulah para  pencari uang yang menghalakan segala caranya, sebuah koran yang memberitakan membuat kau harus  mencari ilmu tentang hukum  ini.

"sebaiknya kamu waspada Nur, "kata pak Guru Sayid, ya teman mengajar disekolahanku, guru PKN yang tahu tentang Pasal-pasal KUHP, aku tahu Mas Guru, aku juga tahu, bukan aku yang harus waspada trik dan intrik ini sudah masuk pada ranah saling menguntungkan antara pak Cakil yang pengusaha dan investor  itu dan BUMN Candi langit yang menghendaki kami semua hengkang dari desa kami tempat tanah tumpah darah dan kami lahir.

"waspada ekstra lipat, karena sekarnag banyak cara dan undang-undang agraria bisa meenmpatkan bila suatu tanah bisa dikuasai negar abila tanah itu sebaik-baiknya untuk kepentingan orang banyak akan di ambil negara tanpa secuilpun ganti rugi adalah benar adanya"  kata Pak Guru Sayid membuatku sadar kemabali.

"pasrah sja pak"jawabku ringan, walau dada ini serasa gemuruh dan marah kami belum bergerak pak hatiku njola benarkah sedemikian parahnya negera ini sehingga hak-hak milik rakyat akan dikuasai negara demi mega proyek bandar ini

"kok diam Nur," aku kaget biasanya aku  baru tahu dia berkata begini serius sekalai, sehingga hanya suara angin yang kadang aku dengar bila bapaks atu ini ceramah tentang  hukum di depanku.  

"semoga desa kamu bisa  terlindungi oleh hukum dan hak-haknya bisa di peroleh kelak" dia mencoba memberiku pengertian tentang hukum, karena kami terlanjur belum setuju pembangunan proyek mega bandara ini yang konon akan terintegrasi langsung antara kereta api, dan pelabuhan diselatan bandara ini

"bukan kami tidak tahu hukum pak, tetapi apakah hati nurani kami akan diijoli dengan beberapa rupiah ? tanyaku padanya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun