Jejak bapak, 1965 : Arah mata angin (9)
Sayyid jumianto
Waktu memjadi seakan sempit dan lorongnya kian keras menjepit. Dendam lama kaum komunis kembali dapat angin segar kala pidato Soekarno menyinggung tentang Nasakom yang ditentang kaum kanan serta Tentara saat itu.
Rakyat dalam kesulitan ekonomi para elit masih saling rebut kekuasaan dan pengaruh dan itulah kenyataannya rakyat dilupakan begitu saja tanpa bisa sambat kepada siapa-siapa. PKI memanfaatkan keadaan ini untuk sekedar pamer kekuasaan dan empati yang semu.
Kesusahan, kemelaratan pertentangan agama dan pertentangan rakyat miskin melawan penguasa kaya semakin kelihatan dampaknya.
Kaum kiri memanfaatkannya dengan janji-janji surga dan imbasnya sungguh kepatuhan pada atheisme yang intens dan kenral. Rakyat lupa bahwa negeri ini pernah terkoyakan oleh tragedi yang sulit terlupakan oleh kita.
Jangan heran ketika semakin bamyak rakyat yang simpati dan pro pada partai kiri ini, hal ini mwnimbulkan keresahan kaum dan parpol nasionalisme dan yang berbasis agama.
 Bagaimanapun trek recors kaum komunis jelas nyata berjuang dengan menumpahkan darah rakyat jelata dengan topeng membela rakyat miskin dan tertindas.
Kegerahan juga tampak dari personel angkatan bersenjata ketika sebagaian anggotanya telah disusupi oleh komunis sehingga membuat pertentangan tajam yang sangat terlihat di ragam berita dikoran angkatan bersenjata yang selalu berbeda dengan koran dari para pendukung PKI kala itu.
Semua serasa menemukan jalannya sendiri melupakan kesepakatan ideologi bersana dulu.
"Susahnya orang di tahun ini tergambar nyata bahwa pertentangan ideologi hanyalah buar hancur semua sisi kehidupan, hidup tak seindah lukisan karena nyata beda dengan polesan cat warna" tulisan bapak disebalik kanvas yang masih bisa aku baca.