Sekatong Beras merah jambu
Sayyid jumianto
"Ini baru tanggal dua belas" kata sang istri meluncur begitu saja. Sepagi ini hanya rebusan ketela pohong bisa untuk ganjal perut dan segelas teh pahit. "Sebentar lagi gas juga mau habis mas" kata sang istrinya lagi padanya seakan tidak mampu mukanya diangkat lebih tegak lagi.Â
Sungguh saya tidak akan salahkan pandemi corona ini yang membuat segalanya menjadi kelabu. Semua orang menjerit dan sambat pada sang pencipta, tetapi semua orang harus pasrah pada keadaan saat ini. "Pasrah, tidak berusaha juga sama juga bohong apalagi pandemi ini hanya sebatas alasan saja dan Gusti Allah tidak beri rejeki bila hanya berpangku tangan" kata istriku lagi. Sabtu akhir pekan yang ditunggu kaum buruh, kaum pekerja lepas dan buruh lepas untuk tentukan nasib diri dapat tidaknya buat senyum sang istri tercinta nantinya.
Gedung ini tinggal finishing, semua pekerja satu persatu sudah pindah pada proyek yang lain.Â
Sejak ramadan lalu gedung ini dimulai pengerjaanya buruhnya banyak tanpa jaminan gaji, kesehatan dan kecelakaan kerja.
 Walaupum banyak seponsornya pembangunan gedung bertingkat masih abai terhadap keselamatan pekerjanya nasib buruh begini terus."hari ini terakhir mburuh disini" bisik mas Tanto padaku. Aku mengangguk kecil tanda sudah tahu.Â
"Kalau njenengan mau besok kita pindah ke seberang desa ada lagi pembangunan pabrik tekstil mas ikut ya?" Bujuknya padaku.
 Bagaimanapun buruh ya buruh selalu saja siap dikorbankan dan berkorban demi harga diri. Gedung yang sebentar lagi jadi ini adalah gedung perusahaan media terkemuka tanah air yang buka cabang di kota kami ini.
 Gedung televisi berita tersohor dan selalu news dalam pemberitaan ini sudah jadi tinggal launching seminggu lagi.Â
"Semua harus rapi dan semua harus dikerjakan dengan baik serta secepatnya untuk di resmikan minggu depan"kata sang mandor membrifing kami semua.