Antara Bipang ambawang, jipang, dan sengsu
Sayyid jumianto
Pidato presiden J niatnya baik tetap dalam koridor kebangsaan  dan ajakan untuk rayakan lebaran tahun ini lebih baik. Pidato yang mengajak untuk mencintai kuliner asli republik ini.Â
Sungguh baik tetapi momentumnya dan jualannya yang singguh membuat umat muslim tersenyum satire atas pidatonya ini. Logika kok lebaran bawa bipang ambawang? (Babi panggang) Bukan jipang? (Kue dari beras ketan) terpeleset atau ini upaya strategi ? Hanya yang buat teks pidato dan vlog video yang tahu serta editornya yang harusnya lebih canggih. Â
Larangan mudik jadi masalah krusial yang didalamnya ada upaya pemerintah atasi pandemi corona ini.
Kuliner exstrem di negeri ini memang banyak tergantung kita mensikapinya mau konsumsi atau tidak seperti di Gunungkidul Yogja ada walang goreng dan ulat jati goreng itu bisa diterima oleh masyarakat sekitar juga banyak yang suka.
Momentum
Menu makanan jadi perbincangan seru di medsos, media massa daring dan juga luring 'politisasi' semakin menjadi pembelaan semakin massif dan menuju arah "makanan politis" makanan empuk para oposan karena pidatonya pada waktu dan momentum yang salah yakni bulan ramadan dan jelang hari raya idul fitri tak ayal lagi bila makanan bipang ambawa ini seakan menjadi momentum bahwa ini tidak seharusnya di sebut dalam pidato sang presiden J kala itu.
Karena makanan-makanam aneh, ekstrem ternyata juga ada yang menggemarinya dan sudah jadi "tradisi" seperti sengsu (tongseng asu) yang ada di solo  walau sudah dilarang tetapi peminatnya tetap ada dan yang jual juga banyak.
Saya sebut makanan ini ekstrem dan masih dijumpai di warung-warung  disana terbuat dari daging anjimg dan bumbunya tongseng pada umumnya.Â
Contoh nyata tidak pernah diributkan sampai tingkat nasional toh ini sekali lagi bagaimana momentum, waktu yang benar dan koreksi naskah pidato sangatlah diperlukan adannya oleh kita bila sedang mengemban amanah negara.