:alsayyid jumianto
Kaum buruh tidak menuntut apa-apa hidup tidak usah di persulit, ikutan aturan yang apalagi di era pandemi cukup ekstra harus selalu patuhi protokol kesehatan, manut aturan yang ada tidak neko-neko, semua harusnya maklum kaum buruh tak butuh orator poli tikus yang berkoar bela mereka di corong toa dan mimbar parlemen.
Buruh memang beda dengan karyawan, apalagi buruh bebas, penulis bebas, tidak bisa lihat tarif iklan perbulan yang dilihat bahu kita, keringat kita, buruh bangunan dinilai dari kinerja seberapa besar targen pembangunan suatu bangunan, buruh gendong bukan dilihat sebarapa kuat beban dipunggungnya yang dilhat sudah sampai ke tempat mana menaruh barang, buruh tani dilihat sampai gabah disampaikan dirumah sang empunya padi dan bawon gabah yang diberikan padanya serta batang padi damen untuk pakanÂ
ternaknya.
Buruh nulis sungguh semua harus diperjuangkan sesusi aturan tempat nulis dan dinilai dari page view yang semau gue pemilik media massa yang bersangkutan.
Sungguh makna buruh seakan ditinggal jauh karena pandemi ini semua orang stagnan dan harus taat aturan yang ada implikasinya pada upah yang di dapat walau bantuan sosial berjibun semua seperti angin lalu
 bagi buruh.
Rolasan
Semua kembali pada maknanya, rehat sejenak, ngaso, dan makan siang. Semua harus dijalankan apa adanya, lauk seadanya dan nasi secukupnya, minum air putih, itulah buruh sejati.
Sementara buat pegawai, ASN, makan siang bisa cukup gizi, dan bagi pebisnis sebagai lobi-lobi dengan rekan bisnis, beda bila buruh rolasan cukup bisa keluh kesah dan sendau gurau pelepas lelah.
#nasib