Tumbal [2] Saksi hidup
Buku harian itu terbawa hinggu bapak tidak ada dalam pelukannya sampai akhir hayat. Aku tahu betapa traumanya bapak terhadap peristiwa september  kelabu itu yang bukan saja merubah tatanan kehidupan sosial budaya juga merubah cara pandang bangsa ini . Bapak saksi hidup yang harus merekam getirnya, tersayatnya hati bagai teriiris sembilu"aku harap anak-anak tidak menyimpan dendam, semua karena ini sebuah takdir perjalanan sejarah ini" bapak selalu ingatkan betapa kehilangan kedua orang tua sekalugus adalah sebuah pukulan batin yang telah diujung senjanya.
Bapak pernah yakin ketika rezim orde baru tumbang harapannya membuncah tetapi sayang sampai presiden ketujuh ini  tempat kuburan bapak ibunya tidak bisa terjawab hingga kini. Sedih, sendu dan hati yang nelangsa seakan hadir digurat-gurat wajahnya yang tampak alur kesedihan itu"aku berharap presiden ketujuh ini  dengan partai yang dulu pernah berjaya dapat menerangi rindu dan kangen bapak ini" keluh bapak saat-saat masih bisa bicara lancar. Buku harian itu entah sudah berganti berapa kali aku takut melihatnya karena ibu melarang dekat-dekat lemari kuno itu takut bapak marah kala ibu  masih sugeng dan itu sampai sekarang masih kami patuhi sampai kini
Sekali lagi september tahun ini diera pandemi korona ini hanya satu tekadku untuk kembali menghimpun puzel-puzel kenangan dari bapak yang tertulis di buku hariannya, kami hanya ingin mencari dimana embah putri dan embah kakung kami disemayamkan
Apakah harus aku menyerah seperti bapak?
Atau kami kalah dengan keadaan ini?
Dua pertanyaan yang tidak akan bisa terjawab muda karena kami harus memulai dari nol dimana bapak dilahirkan
----------
Tumbal