Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rasionalitas dan Rasionalisasi: Bagian Ketiga—Antara Kepercayaan, Kesetiaan, dan Kelayakdipercayaan

11 Agustus 2013   16:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:26 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Keimanan sangat erat hubungannya dengan kesetiaan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan dengan ‘kelayakdipercayaan’. Tentu sebagian dari pembaca masih ingat akan permainan masa kecil ‘uji nyali dan rasa percaya’ pada saat pelajaran olahraga di lapangan sekolah. Guru olahraga memerintahkan murid yang akan diuji berdiri di depan membelakangi para murid lainnya dan seorang murid lainnya dengan sukarela mesti berdiri di belakangnya. Ujian nyali dan rasa percaya itu dilakukan oleh murid yang berada di depan dengan mengakukan seluruh badan dan menjatuhkan tubuh ‘kaku’nya itu ke belakang agar dapat ditangkap oleh teman yang berada di belakangnya. Kebanyakan murid SD teman sekelas saya dulu menggeblakkan tubuh kaku mereka ke belakang begitu saja bahkan ketika teman di belakangnya belum berada dalam posisi siap menyangga jatuhnya itu dan mereka inilah yang dinyatakan ‘lulus ujian’ itu. Sayalah satu-satunya yang dinyatakan ‘tidak lulus’ karena saya melanggar peraturan ‘tidak menengok ke belakang’. Gara-garanya ialah bahwa saya ingin memastikan bahwa teman yang di belakang saya itu bukanlah si Jeki atau si Anto yang kurus kering itu karena tubuh fisik saya yang terhitung bongsor dibandingkan dengan teman sebaya saya waktu itu. Setelah saya tahu secara pasti bahwa orang yang akan menangkap tubuh saya adalah Pak Guru sendiri yang sepenuhnya dapat dipercaya kekuatannya dan kesetiaannya sebagai guru, hilanglah keraguan saya dan saya pun dengan sepenuh hati menggeblakkan tubuh saya. Saya dinyatakan gagal dalam ‘ujian nyali dan rasa percaya’ itu karena saya sebelumnya tidak percaya begitu saja dan menengok ke belakang untuk memastikan agar belakang kepala saya tidak sampai membentur tanah keras!

Dalam kondisi yang sama, kebanyakan calon SKT kecil secara naluriah tentu akan menalar seperti yang saya lakukan pada waktu itu karena rasa percaya itu berhubungan erat dengan kesetiaan dan kelayakdipercayaan. Seandainya saya pada waktu itu tahu secara pasti terlebih dulu bahwa yang akan menahan jatuhnya tubuh saya adalah orang yang tepercaya ‘kesetiaan’nya dan ia memang layak dipercaya (karena kekuatan dan kemampuannya) seperti Pak Guru, saya pasti tidak perlu menengok ke belakang untuk memastikannya lagi.

SKT dalam transaksi kehidupan sehari-hari yang melibatkan rasa percaya akan menyelidiki secara rasional dan menguji kesetiaan dan kelayakdipercayaan dari orang yang akan bertransaksi dengannya, terutama jika transaksi itu sangat memengaruhi kehidupannya (apalagi selama hidupnya) dengan risiko besar yang mesti ditanggungnya jika transaksi itu ‘bodong’. Sebaliknya, para SKR/SKRT akan lebih menekankan rasa percaya yang tidak teruji dengan rasionalisasi dan pembenaran terhadap transaksi karena berbagai faktor yang ‘meyakinkan’ mereka. Baru beberapa bulan yang lalu terjadi penipuan investasi emas berkedok Syariah yang menggegerkan jagat NKRI karena melibatkan beberapa pejabat penting dan MUI (Baca selengkapnya di sini dan di sini.)Sang penipu berkebangsaan Malaysia berhasil mengeruk dana ‘investasi bodong emas’ sekitar Rp. 10 triliunan dengan berpura-pura menunjukkan simpati berlebihan terhadap Islam dan keimanannya.Kebanyakan para investor yang tertipu mentah-mentah itu tentu terdiri dari para SKR/SKRT yang serakah melihat iming-iming menggiurkan untuk mengeruk laba dengan mudah dan HALAL tanpa menyelidiki secara mendalam kredibilitas orang Malaysia itu dan kerasionalan investasi yang ditawarkannya itu sebelum melakukan transaksi investasi. “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna”, begitu kata pepatah lama.

Ketika Anda diperintahkan dalam Kitab Suci untuk beriman, Anda tidak saja diperintahkan untuk memercayai atau meyakini proposisi kebenaran yang tertuang dalam Kitab Suci Anda itu, tetapi Anda juga diperintahkan agar menurutinya dengan kesetiaan penuh. Dengan kata lain, Anda mesti memercayai otoritas agama Anda meskipun perintah mereka kurang rasional (atau bahkan tidak rasional sama sekali). Misalnya ketika “YHWH/Allah Bapa” (agama Yahudi/Katholik/Kristen) atau “Allah” (Islam) memerintahkan Abraham atau Ibrahim untuk melakukan kekejian dengan menyembelih putera terkasihnya sebagai tanda keimanannya, IA ingin melihat apakah Abraham/Ibrahim akan setia kepadaNYA dan memercayainya secara langsung meskipun perintah itu bertentangan dengan rasionalitasnya, moralitasnya, dan hubungan emosionalnya dengan puteranya itu.

Dalam kasus Ibrahim yang sedang diuji keimanannya, Allah dikisahkan mau berkomunikasi secara langsung dengan manusia yang dikehendakinya. Seandainya SKT dan SKR menghadapi ujian langsung seperti Nabi Ibrahim, SKT tentu akan berusaha memastikan terlebih dulu bahwa entitas yang menyuruhnya membunuh putera terkasihnya adalah Allah s.w.t. alih-alih Syaiton, misalnya. Seandainya IA adalah benar-benar Allah s.w.t. yang serba Maha itu, SKT tentu akan memertanyakan pula mengapa ia disuruh membunuh putranya itu karena hal itu menyalahi asas moralitas dan hati nuraninya sendiri dan akan menimbulkan trauma mengerikan bagi puteranya itu. Sebaliknya, SKR akan menerima begitu saja dan menuruti perintah mengerikan itu tanpa bertanya-tanya lagi, nah bayangkan jika perintah itu sesungguhnya datang dari Syaiton dan ia telah telanjur mengikuti perintah irasional yang menyesatkan itu.

Kisah uji keimanan di atas sering dimanfaatkan oleh para otoritas agama yang hidup pada zaman sekarang ini untuk menyampaikan kepada umat beriman bahwa mereka sekali-kali akan diuji keimanannya dengan menerima perintah yang melanggar prinsip rasionalias dan hati nurani mereka dan perintah itu mesti ditaati, bagaimanapun juga. Para SKT dan SKR akan memerlakukan perintah semacam ini secara berbeda. SKT akan memeriksa kelayakdipercayaan otoritas yang mengeluarkan perintah tidak rasional dan melanggar hati nurani tersebut, selain itu ia akan memertanyakan apa yang diperintahkan kepadanya itu secara rasional dengan petunjuk daya rasa dan nuraninya sendiri. Otoritas Tuhan saja dalam hal ini patut dipertanyakan apalagi hanya sekedar otoritas sesama manusia, sekalipun ia adalah otoritas Nabi sendiri. SKR akan menuruti segala perintah otoritas agamanya secara membuta, meskipun perintah tersebut nyata-nyata melanggar asas rasionalitas dan moralitasnya sendiri, apalagi jika otoritas agama yang memerintahkan hal itu mengutip ayat pendukung dari Kitab Suci dan contoh mengenai apa yang telah dilakukan oleh Nabi sebagaimana yang termuat dalam Hadis. SKT memertanyakan segala yang memang layak untuk dipertanyakan dan diragukan dan SKR menerima begitu saja dalam kondisi apa saja. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun