Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengulas Artikel Delusional dan Irasional Lagi

18 Juni 2013   16:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:49 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh Andy Laksmana Sastrahadijaya

Ternyata, membahas artikel delusional dan irasional di Kompasiana ini sama sekali tidak membosankan, bahkan mungkin mencerahkan bagi sebagian Kompasioner. Artikel delusional ialah artikel yang mengungkapkan pikiran atau pandangan yang tidak berdasar atau tidak rasional (jadi, delusional itu hampir ‘setali tiga uang’ dengan irasional); pengarangnya menguraikan pendapat yang tidak berdasarkan pada kenyataan alias berdasar pada khayalan. Contoh artikelnya kali ini, masih ditulis oleh “filsuf” kita yang sama, dapat dibaca dengan mengeklik tautan ini.

Marilah kita mulai dengan alinea pertama artikel itu, “Manusia … (bercermin diri lah) …. sejatinya mereka tidak mengenal kebenaran yang sebenarnya ( sejati) tetapi mereka seolah sudah berani menjadi hakim tunggal atas semua problem kebenaran yang ada, sehingga tiap keyakinan terhadap suatu yang sejatinya tidak nampak mata - abstrak secara langsung mereka vonis sebagai ‘ilusi’- ‘delusi’.” Dengan congkaknya “filsuf” kita ini menganjurkan manusia bercermin karena sejatinya mereka tidak mengenal kebenaran sejati. Tanpa ia sadari sendiri, ia tidak menggolongkan dirinya sendiri sebagai manusia karena pengarang inilah yang selalu berkhayal menulis banyak artikel seakan-akan ia tahu persis apakah ‘kebenaran sejati’ (yang ditulis dalam Kitab Sucinya) itu. Ada tiga kemungkinan dalam hal ini, satu, ia hendak mengatakan bahwa dirinya adalah BUKAN manusia; dua, ia hendak menyatakan bahwa dirinya adalah manusia yang TIDAK tahu diri; dan tiga, ia sama sekali tidak mengerti apa yang ditulisnya sendiri. Melihat dari berbagai tulisannya di Kompasiana ini, saya cenderung berpendapat bahwa filsuf pengkhayal kita ini memiliki tiga ciri-ciri itu sekaligus.

Karena merasa tahu dan merasa pasti mengenai ‘kebenaran sejati’, selama ini ia merasa tidak terima jika ada orang yang menyatakan dengan logis dan rasional bahwa apa yang dianggapnya sebagai “kebenaran sejati” itu sesungguhnya adalah “kebenaran” anggapan. Meskipun kepadanya telah disajikan berbagai macam penjelasan yang membuat anak tingkat SD saja akan mengerti karena telah diulang-ulang banyak sekali dan secara intensif pula, ia mengajukan seribu satu macam dalih untuk menyangkal keNYATAan atau fakta yang sebenarnya mudah dilihat dalam kehidupan sehari-harinya itu. Alih-alih membantah secara rasional yang kini tampak jelas memang berada di luar kemampuannya, ia selalu mengajukan semacam argumentasi semu berdasarkan keyakinan yang dianggapnya sebagai ‘kebenaran’. Ia mengumbar banyak tulisan khayalan yang dianggapnya sebagai ‘kebenaran’.

Izinkanlah saya mengulas alinea delusif lain yang ditulis olehnya. Ia menulis begini: “Kebenaran sejati adalah suatu yang bersifat abstrak - tidak menampakkan diri secara langsung kepada dunia indera manusia, sehingga sia sia bila manusia ingin mencari cari kebenaran sejati tetapi hanya dengan berbekal kekuatan dunia inderawi nya, sebab kebenaran sejati itu tersimpan dikedalaman yang tidak akan bisa digapai dengan hanya berbekal kekuatan dunia panca indera bahkan oleh akal manusia yang paling brilian sekalipun.” Dengan berbagai cara, ia sering mengatakan bahwa ‘kebenaran sejati’ itu adalah abstrak (gaibnya kini dihapus) dan selalu merendahkan kemampuan inderawi dan kemampuan daya pikir dan daya rasa (ia sering melupakan bahwa manusia juga punya intuisi/hati nurani) yang tidak akan mampu menangkap ‘kebenaran sejati’. Namun ia seakan-akan lupa bahwa Nabi sendiri juga mengerahkan segala kemampuannya (panca indera, daya pikir/akal, daya rasa, intuisi, dsb.) dalam memahami dan menjabarkan “wahyu” yang diterimanya itu. Nabi melihat sosok yang dianggapnya sebagai malaikat Jibril dengan mata, dan mendengarkan ucapannya dengan telinga. Lalu, apa Nabi tidak berpikir? Berpikir memakai apa? Daya pikir. Dengan daya rasa yang halus, Nabi merasakan segala sesuatu. Jadi, terdapat dua pilihan bagi pengarang delusional tersebut di atas, ia mesti mengatakan bahwa Nabi adalah bukan manusia (dan akan saya tanya terus tentu saja, definisi ‘bukan manusia’nya itu seperti apa) yang tidak melihat dengan mata dan tidak mendengar dengan telinga dan tidak mengeluarkan perasaan dengan daya rasanya atau ia mesti mengakui bahwa Nabi adalah manusia juga, seperti kita, hanya saja mungkin panca indera, daya pikir, daya rasa, dan kemampuannya itu ia itu adalah jauh di atas rata-rata manusia, tetapi tetap saja Nabi adakah MANUSIA (ini adalah FAKTAnya, perkara Nabi diyakini begini dan begitu sih saya tidak berkeberapan sama sekali). Penalaran sederhana begini memang terkadang sangat sulit dicerna oleh orang yang mengidolisasikan dan mengidealisasikan Nabi secara berlebih-lebihan sehingga mengalami kemelekatan psikologis patologis yang sangat kuat dan mengerikan.

Mari kita kupas alinea yang ini: “Kebenaran sejati itu ibarat intan permata yang tersimpan dalam sebuah laci, laci itu ada dalam lemari, lemari…”. Di atas sudah dibilangnya sebagai sesuatu yang abstrak, namun ia memakai ibarat ‘intan permata’ yang tersimpan dalam laci, dst. (semuanya itu benda, materi). Jika ia dikejar untuk menjelaskannya lebih lanjut, ia biasanya mengeluarkan jurus “tari-nyanyi India keliling pohon” alias berputar-putar untuk mengalihkan perhatian. Coba saja Anda yang menanyakannya.

Seperti biasanya, pengarang yang berhobi mengkhayal ini menuduh orang lain tanpa bukti dan dasar rasional dan kali ini ia memakai istilah ‘gila’: “Yang lebih gila adalah … manusia mencoba menghakimi kebenaran yang bersifat abstrak - yang ada di dunia abstrak tetapi dengan menggunakan metodologi ilmu materi (!),mereka tahu bahwa sains adalah ilmu dunia materi tetapi metodologinya mereka paksa gunakan untuk menelusur problem dunia abstrak (!) ….” Kembali lagi pada tuduhan penghakiman terhadap kebenaran yang bersifat abstrak. Yang bagaimanakah itu? Tidak terjawab, sudah pasti, karena ia sendiri tidak tahu persisnya. Memakai metode materi? Memakai metode sains untuk menelusuri masalah dunia abstrak? Anda sudah dapat melihat kengawurannya di sini? Coba saja Anda memintanya untuk menjelaskannya secara lebih spesifik dan terperinci, film India lagi, “Nehi…nehi”.

Ia melanjutkan berbagai ocehannya yang pada intinya mengatakan bahwa ia sebagai orang beriman tidak terima jika ia dikatakan bahwa keyakinannya itu adalah “kebenaran” atau “kenyataan” anggapan dan menuduh orang yang berbeda pendapat dengannya sebagai orang yang memakai parameter materi. Pokoknya segala macam jurus digunakan hanya untuk mengungkapkan dua hal ini.

Lalu ia menulis, “Dan karena kebenaran sejati itu ada pada hal hal yang bersifat abstrak - tak nampak mata maka ia hanya bisa ditemukan melalui tuntunan kitab suci, sebab realitas (‘ada’) yang bersifat gaib itu berada diluar jangkauan kekuatan dunia indera manusia sehingga satu satunya jalan agar manusia bisa mengetahuinya adalah dengan memberitahukannya melalui kitab suci.” Entah karena saking fanatiknya dan ditambah saking tumpulnya, daya pikirnya sama sekali tidak dapat mencerna hal yang sangat sederhana seperti makna kepercayaan atau keyakinan. Bolak-balik sampai berapa kali saya mesti bilang bahwa kepercayaan atau keyakinannya itu adalah URUSANnya sendiri dan tidak perlu dikoar-koarkan di forum umum Kompasiana jika tidak ingin dianalisis orang lain agar tidak membodohi banyak orang lainnya. Jika ditelusuri dengan nalar oleh orang yang mananggapi tulisannya, ia mengatakan bahwa hal yang abstrak kok dinalar-nalar, kok panca indera dijadikan parameter, kok ini kok itu. Kok…kok…kok.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun