Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketamakan itu Telah Tumbuh dalam Diri Kita sejak Kita Kecil

2 Maret 2013   12:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:26 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketamakan itu Telah Tumbuh dalam Diri Kita sejak Kita Kecil

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Komentar yang saya kembangkan menjadi tulisan ringkas berikut ini intinya baru saja saya layangkan untuk menanggapi tulisan seorang teman Kompasioner di sini: http://filsafat.kompasiana.com/2013/03/02/keserakahan-membutakan-mata-hati-dan-merabunkan-akal-sehat-533571.html#4733872 Dalam tulisan itu saya membenarkan penulisnya bahwa keserakahan itu menutupi akal sehat, kecerdasan, dan kewaspadaan sehingga orang ybs., mudah tertipu oleh iming-iming tidak masuk akal, seperti dalam kejadian penipuan “investasi dalam batang emas” yang kini sedang ditangani oleh polisi. Sekalipun demikian, saya menyatakan bahwa sungguh tidak mudah menghilangkan ketamakan ini karena ia telah tumbuh mendarahdaging dalam diri manusia sejak kecil. Sejak kita pertama kali sekolah, benih “ketamakan” itu, mungkin tanpa mereka sadari, telah ditanamkan oleh orangtua dan para guru sekolah kita. Kita tidak puas dengan nilai enam atau tujuh atau delapan dalam mata pelajaran sekolah. Hayo, usahakan dapat sembilan atau sepuluh! Ketika kita mencari pacar, kita juga cenderung “serakah”, pilih-pilih yang sangat tampan atau cantik, yang kaya raya, yang putih bersih kulitnya, yang begini dan begitu. Ketika kita bekerja, kita mengejar karir secara mati-matian, kalau perlu sikut kanan-kiri dan menjilat atasan, ya dasarnya adalah ketamakan yang telah kita bina sejak kecil. Kita pun menjadi kaya, puaskah kita? Sama sekali tidak, kita ingin bertambah kaya tujuh turunan, dsb., dst. Jadi, kita dapat membayangkan sendiri bahwa ketamakan dalam diri manusia itu tidak dapat dicincang-cincang begitu saja seperti kata pak Kate dalam tulisannya itu.

Sejak kecil, kita telah diajari untuk berbuat “baik” dengan cara begini dan begitu sesuai dengan petunjuk dan ajaran agama kita dengan iming-iming menghuni surga abadi kelak. Jadi, kebaikan alami yang keluar dari hati nurani kita sendiri yang sesungguhnya membahagiakan itu dipandang sebagai tidak mencukupi sehingga kita diiming-imingi untuk mencapai kebahagiaan surgawi (yang “rasa”nya saja entah bagaimana, karena masih berada di awang-awang khayalan kita) dengan “memaksakan” kepada diri kita ajaran agama yang menghalangi kita untuk hidup sebagaimana adanya pada saat ini. Bukankah ini merupakan bentuk pembinaan ketamakan tertinggi yang entah disadari atau tidak, telah ditanamkan kepada kita oleh para otoritas agama?

Adakah di antara teman-teman Kompasioner di sini yang memiliki gagasan jitu untuk melenyapkan “ketamakan” mendarahdaging yang telah merasuki kita sejak kecil ini? Apakah yang mesti kita perbuat sekarang ini untuk meniadakan “beban-pengaruh” ketamakan yang telah ditanamkan dengan begitu mendalam dalam diri kita? J

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun