Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kata-kata Bukanlah ‘Benda’nya

9 Agustus 2014   02:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:01 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Secara harafiah, judul artikel di atas jelas sekali maknanya, kata-kata memang tidak pernah menjadi sesuatu yang dirujuknya. Kata ‘tongyur’ yang merupakan singkatan ‘lontong sayur’, misalnya, jelas bukanlah hidangan lezat untuk sarapan pagi itu. Kata ‘tongyur’ itu sendiri dipakai untuk mendeskripsikan jenis makanan berupa irisan lontong/kupat yang diguyur sayur santan labu atau nangka muda dengan tambahan semur tahu atau telur balado dan biasanya dilengkapi juga dengan kerupuk warna jambu muda ‘mengerikan’, yang sangat popular di Jakarta dan dijajakan di mana-mana dengan mangkal di suatu tempat atau berkeliling ke mana-mana dengan teriakan khas ‘tongyurrrrrrr’; teriakan suara ‘tongyurrrr’ juga dipakai untuk memanggail penjaja tongyur langganan yang melewati depan rumah sebagai ‘instruksi’ yang sama-sama telah disepakati secara tidak resmi agar si tukang jual tongyur berhenti dan dapat melayani pelanggan dalam pembelian tongyurnya.

Kata-Kata dan Perangkapnya

Kompasianer penulis artikel dan pembaca artikel di blog ‘keroyokan’ gratisan kesayangan kita ini sering mengalami kesulitan untuk memahami makna kata-kata yang ditulis dan dibacanya dan juga mengerti perlunya terbebas dari perangkap kata-kata itu.Kebanyakan dari kita yang menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar kurang akan lebih memahami makna kata-kata yang kita tulis dan baca, terutama dengan bantuan sambungan internet yang menyajikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring/online yang dapat diakses setiap waktu. Kosakata Indonesia memiliki rujukan dalam KBBI, atau sebagai penulis, Kompasioner dapat memberikan makna khusus yang merupakan perluasan dari makna denotatif dan konotatif yang disajikan oleh KBBI. Kompasianer, baik sebagai penulis maupun sebagai pembaca, hendaknya waspada agar tidak terperangkap dalam kata-kata yang bukan merupakan ‘benda’nya itu. Kebanyakan dari kita hidup dengan kata-kata; bagi kita kata-kata sangatlah penting. Semua pikiran dan perasaan kita dibatasi dengan kata-kata. Kata-kata dan perlambang kata memainkan peran besar dalam kehidupan sehari-hari kita; dan benar-benar memahami makna kata-kata yang kita sampaikan atau kita baca dan terBEBAS dari kata-kata serta bergerak di luar cangkang kata-kata itu sangatlah diperlukan bagi Kompasioner yang ingin memahami apa ‘kebenaran’ itu.

Beberapa Kompasianer menulis dan membahas ‘kebenaran’, bahkan terkadang ‘keTuhanan’ tanpa benar-benar mengetahui apa makna di balik kata ‘kebenaran’ itu, apalagi mengetahui dan menghayati ‘sesuatu’ yang dirujuk oleh kata ‘kebenaran’ itu. Misalnya seorang Kompasianer yang gemar sekali menulis artikel keagamaan yang sayangnya sering disamarkan sebagai artikel filsafat dalam Kanal Filsafat dengan hanya bermodalkan keterkondisian berat pikiran terhadap sistem kepercayaannya (sebut saja UB dan kawan-kawan ‘sekelas’nya) sering menyalahkaprahkan pemakaian banyak kata-kata seakan-akan mereka itu adalah ‘benda’nya atau dengan kata lain sering menganggap ‘kepercayaan’ mereka sebagai ‘kebenaran absolut’ begitu saja. Pembaca cerdas artikel mereka yang berbasis ‘kepercayaan’ tentu seyogianya akan memertanyakan dasar “kebenaran” (Rujukan) yang dipakai dalam mengembangkan isi artikelnya itu bahkan sebelum perlu menyimak dan mencoba memahami isi artikelnya karena dasar yang mereka pakai BUKANlah kebenaran, namun “kebenaran” anggapan, bahkan sebagian berdasarkan ‘khayalan’ mereka sendiri. Bangunan yang berfondasi fiktif akan bersifat fiktif secara keseluruhan. Karena sifat ilusifnya yang tidak ada substansinya, perlukah kita membahas ‘dekorasi khayali’ (maksudnya isi artikel) dalam bangunan itu? Bukankah kita hanya akan membuang-buang waktu percuma dengan menyimak artikel semacam itu?

Batin yang Terperangkap dalam Kata-Kata

Seperti biasanya, penulis mengartikan kata ‘batin’ sebagai kemampuan berpikir, merasa, berkehendak, dsb., yang padanan kata-katanya ialah ‘jiwa’ atau ‘psike’. Jiwa yang terperangkap dalam kata-kata sangat tidak mampu merasakan kebebasan. Daya pikir yang kebanyakan bekerja dalam pola rumusan sistem kepercayaan jelas sekali menunjukkan bagian dari batin yang sangat terkondisi dan bersifat membudak terhadap kata-kata. Daya pikir semacam ini tidak akan mampu berpikir secara baru, memikirkan hal-hal yang segar. Dan sebagian besar pemikiran dan kegiatan mereka ini berada dalam batas-batas kata dan formula. Ambillah kata seperti ‘Tuhan’ (kata Arab: ‘Allah’), ‘kasih’, ‘welas asih’. Orang yang ingin menemukan fakta apakah terdapat Tuhan yang dirujuk dengan kata ‘Tuhan’, mereka yang ingin menemukan apa makna atau implikasi dari ‘kasih’ dan ‘welas asih’, jelas sekali harus terbebas dari semua konsep yang terbungkus dalam kata-kata dan formula. Batin, atau dalam hal ini daya pikir dan daya rasa, menolak terbebas dari rumus dan konsep kepercayaan yang telah dipolakan itu karena rasa takut (Rujukan). Jadi rasa takut ini berlindung dalam kata-kata, dan kita selalu bergulat dengan kata-kata. Dengan demikian, hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang yang sungguh-sungguh ingin mengetahui apakah terdapat realitas yang dirujuk dengan kata-kata itu, sesuatu yang sebenarnya di luar jangkauan kata-kata itu, adalah mesti benar-benar memahami apa yang dirujuk dengan kata-kata itu dan membebaskan diri dari belenggu atau perangkap atau formula kata-kata itu sendiri. Janganlah berhenti pada kata-katanya, namun temukanlah ‘benda’nya. Lupakan selubung kata-katanya, pahamilah makna di balik mereka.

Seni Menulis dan Membaca Artikel Tertentu Kompasiana

Ribuan artikel dengan berbagai macam ‘genre’ tulisan menderasi blog Kompasiana setiap harinya, dan masing-masing Kompasianer menyempatkan diri menulis dan membaca artikel tertentu sesuai dengan maksud dan tujuannya sendiri-sendiri. Alinea ini secara khusus dimaksudkan untuk artikel genre prosa non-fiksi eksposisi mengenai keagamaan, religiositas, kerohanian/spiritualitas dan sejenisnya, yang jika maknanya diserap dengan baik dapat dimanfaatkan oleh Kompasianer cerdas ybs untuk meningkatkan mutu kehidupan sehari-harinya. Seni menulis dan membaca yang dimaksudkan tentu berkaitan dengan isi artikel ini, yakni memerhatikan ‘apa yang berada di balik kata-kata alih-alih bungkus kata-katanya itu sendiri.’ Dalam hal ini seni menulis dan membaca demikian tentu menciptakan proses komunikasi tanpa gangguan berarti di antara penulis artikel dan pembaca artikelnya. Baik penulis maupun pembaca hendaknya melakukan fungsinya masing-masing dengan batin yang hidup secara penuh perhatian. Batin (dalam hal ini, daya pikir dan daya rasa) yang terperangkap dalam kurungan kata-kata dan formula mengenai sistem kepercayaan BUKANlah batin yang hidup. Misalnya, penulis artikel keagamaan atau kerohanian, dan sejenisnya, yang terperangkap dalam formula sistem kepercayaannya tidak akan memberikan nilai tambah kebenaran (yang telah ‘matang’—tinggal makan/pakai) apapun dalam bangunan artikelnya karena fondasi artikel yang dipakainya ialah “kebenaran” anggapan yang masih perlu diselidiki kebenarannya. Menulis dan membaca artikel memerlukan kesadaran, tidak saja terhadap kata-kata, dan rumusan ‘beku’ pola pikir tertentu, tetapi juga terhadap pengesampingannya; memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis artikel adalah lebih penting daripada berargumentasi dengannya (menyetujui atau menolaknya) sebelum proses yang disebutkan terdahulu itu diselesaikan. Pertama-tama pembaca harus memahami isi artikel, apakah ia benar atau keliru (yang benar dipakai dan yang keliru dibuang/diabaikan), bukan dengan sarana formula sistem kepercayaan pembaca yang telah dikondisikan padanya baik oleh orang lain maupun oleh pikirannya sendiri. Pemahaman dilakukan lewat persepsi langsung terhadap makna di balik kata-kata. Dan ‘persepsi langsung’ ini tidak akan pernah terwujud jika dihijab oleh pola sistem kepercayaan yang telah melekat kuat pada daya pikir dan daya rasa.

(Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun