Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya
Artikel yang penulis maksudkan adalah artikel ini. Penulis merasa perlu membuat artikel sendiri karena beberapa pengalaman berinteraksi dengan penulis artikel itu menunjukkan bahwa beberapa tanggapan, yang secara rasional dan logis menunjukkan kekeliruan tulisannya mendapatkan nasib dihapus alias dilenyapkan tanpa tanggapan balik secara rasional dan logis pula. Di samping itu, artikel yang ditulis berdasarkan kepercayaan dan keyakinan penulis itu mendistorsi kebenaran/kenyataan sehingga berpotensi menyesatkan para pembaca yang karena berkepercayaan dan berkeyakinan sama menerima begitu saja tulisannya tanpa berpikir kritis sama sekali. Selama di Kompasiana ini kita masih dibebaskan beropini asalkan bertanggung jawab, anggap saja artikel ini sebagai tanggapan kritis terhadap artikel yang ditautkan di atas, tanpa itikad buruk apapun selain mengemukakan kebenaran.
Siapakah yang Merindukan Keabadian itu?
Jawabannya sangat sederhana, yakni si ego dari satuan jiwa-raga itulah yang merindukan atau secara bernafsu menginginkannya (silakan baca Artikel ini sebagai rujukan). Penulis artikel tersebut menyatakan keinginan demikian ini bersifat alami, tetapi ia tidak mengetahui fakta bahwa keinginan demikian sangat merusak kehidupan alami satuan jiwa-raga/lahir-batin orang yang bersangkutan. Alih-alih menerima seperti apa adanya sebagaimana adanya di sini pada saat ini dalam kesekarangan yang abadi (rujukan: silakan baca Artikel ini), ia selalu terpacu dan terangsang untuk menginginkan sesuatu yang dikhayalkannya pada masa depan yang entah kapan dan tidak menentu terjadinya. Penghayatan kehidupan yang selalu merupakan pelarian diri dari kenyataan di sini saat ini sudah dapat dipastikan tidak akan memberikan kebahagiaan, kedamaian, dan ketenteraman hidup di sini saat ini, apalagi pada masa depan.
Setiap ada permintaan tersedialah pula pemasokannya, begitulah bunyi hukum ekonomi paling mendasar yang berlaku dalam kehidupan manusia. Milyaran ego menginginkan keabadian dan muncullah secara berlimpah-limpah para pemasok sistem kepercayaan yang menawarkan ‘keabadian’ dalam versinya masing-masing. Orang bilang, ada uang ada barang, artinya sesuatu yang kongkrit ditukarkan dengan sesuatu yang kongkrit pula. Karena transaksi ‘keabadian’ di atas dilakukan oleh para ego lebih pintar dan para ego yang kurang pintar tetapi mudah percaya karena ketidaktahuannya, terjadilah suatu penipuan atau kelicikan dalam transaksi yang sangat tidak jujur dan tidak adil; yakni, penukaran tidak seimbang dan tidak realistis antara pembeli ‘keabadian’ dan penjual ‘keabadian.’ Para pembeli ‘keabadian’ mengeluarkan sesuatu yang konkrit (segala usaha dan daya upaya, uang dan harta benda, jerih payah tidak terperikan, penderitaan dan kesengsaraan, ketaatan menjalankan berbagai ritual, dsb.,) yang ditukarkan secara pandir dengan berbagai janji dan iming-iming pada masa depan yang tidak berkepastian kapan terjadinya, yang anehnya dengan mudah di’jamin’ oleh para otoritas yang selama hidupnya tidak pernah atau bahkan tidak akan pernah mengalami atau merasakan keabadian itu sendiri (‘barang’nya) semata-mata karena mereka hanyalah perantara jauh-jauh sekali yang tidak pernah sekalipun melihat “barang”nya, mereka sama sekali bukanlah produsen langsung atau distributor langsung dari produk ‘keabadian’ itu. Jadi, sesuatu yang nyata (daya upaya, uang, penderitaan, dst., seperti yang disebutkan di atas) diTUKARkan dengan ilusi atau fiksi. Inilah yang secara persis disebut sebagai HIDUP yang sungguh-sungguh MERUGI.
Kebutuhan yang Berubah Menjadi Keserakahan
Agar dapat bertahan hidup di dunia ini, manusia membutuhkan pangan, papan, dan sandang beserta berbagai kebutuhan terhadap materi yang diperlukan lainnya, di samping berbagai kebutuhan fisiologis itu, manusia hidup secara psikologis juga membutuhkan rasa aman, kasih sayang, harga diri, aktualisasi diri, dan sebagainya yang oleh Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik, dituangkan sebagai teori hirarki kebutuhan manusia. Nah, jika kebutuhan menjadi berlebih-lebihan secara tidak wajar karena nafsu keinginan si ego yang telah menggelembung segede gunung, kebutuhan itu bertiwikrama menjadi keserakahan bin ketamakan. Para koruptor atau katakanlah pengusaha sah yang ingin menumpuk harta benda sampai tujuh keturunan jelas mengekspresikan sifat serakahnya itu; para penguasa yang ingin melestarikan kekuasaannya selama hidupnya juga sedang mengungkapkan ketamakannya; dan tingkat keserakahan tertinggi bagi si ego adalah menginginkan dengan penuh nafsu suatu kebahagiaan abadi bagi dirinya yang nyata-nyata eksistensinya bersifat sementara.
Marilah kita periksa bagaimana si ego penulis artikel yang menghalalkan ‘keserakahan tertinggi’ itu mengekspresikan dirinya, “Saya pribadi suka merenung dalam dalam kalau melihat aktor aktris atau selebritis yang kini telah tua tetapi dahulu semasa muda hidup sebagai seorang yang tampan atau cantik dan suka timbul rasa sedih dihati walau itu adalah hukum kehidupan pasti yang mesti manusia jalani.” Mengapa si ego ini merasa ‘bersedih’ melihat fenomena hidup alami yang wajar dari muda menjadi tua, dari yang kelihatan cantik menjadi cantik namun peyot dan berkerut-kerut. Karena ia memikirkan kepentingan pribadinya sendiri yang sangat menderita di dunia ini, yang ia anggap sebagai kemestian yang ia mesti jalani (karena ujian hidup dari Allah, S.W.T.), yang semestinya pula akan memberi kompensasi wajar dengan kebahagiaan abadi di surga. Wow, what a wild imagination! Dan SERAKAH lagi!
Mengkhayalkan Sesuatu yang Sesuai dengan Keinginan
Marilah kita membaca penggalan tulisan lainnya, “Tahukah anda bahwa Tuhan mengetahui hasrat batiniah manusia melebihi dari pengetahuan manusia itu sendiri …(?) …. itu terjadi tentu karena Ia adalah penciptanya.dan Tuhan pun merespon hasrat hasrat yang datang dari kalbu manusia yang terdalam seperti hasrat - keinginannya akan keabadian.” Pembaca tentu tidak perlu diberitahu yang mana dari kata-kata terkutip berhuruf miring itu yang merupakan fakta atau kenyataan dan yang mana yang merupakan olahan khayalan yang disesuaikan dengan nafsu keinginan untuk membenarkan atau merasionalisasikan pendapatnya yang jelas keliru itu, bukan? “Keinginan yang datang dari kalbu manusia yang terdalam?” What a joke!
Khayalan liarnya berlanjut, “….dan mereka akan hidup abadi dalam tubuh tubuh muda yang diabadikan, tidak ada perubahan menuju tua - keriput sebagaimana ketika manusia hidup di alam dunia, tak ada orang tua - renta - berpenyakit didalam sorga sebab umur manusia disana diseragamkan yaitu di sekitar usia 33 tahunan (bagi orang yang meninggal diatas usia 33 tahun), jadi orang yang meninggal di usia 120 tahun sekalipun bila ia dimasukkan kedalam sorga maka ia akan kembali ke usia sekitar 33 tahun…” Mungkin terlalu malu si penulisnya sehingga tidak memasukkan bentuk khayalan lainnya bahwa di sana, selain dimudakan kembali, juga bagi para syuhada/martir langsung diberi pahala tanpa diundi 72 hoaris (katakanlah bidadari cantik jelita) yang tetap perawan! Iming-iming begini ini, pada kenyataannya, telah menjadi penyebab meledaknya bom-bunuh-diri yang telah menelan banyak korban manusia.
Sesuatu kehidupan penuh sensualitas yang tidak diperoleh dalam kehidupan nyata di dunia ini dikhayalkan sebagai pahala abadi dengan pengorbanan nyata (ikut bawa-bawa korban orang lain, dalam hal pelaku bom-bunuh-diri). Dan dengan kepolosan yang sebenarnya merupakan ungkapan ketidaktahuan, penulis khayali kita ini menulis begini, “Tentu itu semua bukanlah khayalan pribadi buatan manusia yang berkhayal tetapi deskripsi yang berasal dari firman Tuhan yang tertera dalam kitab suci.” Suatu ciri khas SKR yang dari dulu (meskipun telah diberitahu secara berulang-ulang) mungkin sampai tarikan nafas terakhirnya nanti tidak mampu membedakan antara faktualitas dan kepercayaan/keyakinan, antara kebenaran dan ‘kebenaran anggapan’, serta antara fakta dan asumsi. Dengan kata lain, selama SKR tidak mengadakan perubahan radikal dalam dirinya sendiri sehingga meningkatkan kualitas dirinya menjadi SKT, kehidupannya akan tetap berada dalam ILUSI ciptaannya sendiri dan selamanya ia akan menderita karena ketidaktahuannya sendiri. Selidikilah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H