Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya
Dalam beberapa artikel yang pernah penulis tayangkan di forum Kompasiana, antara lain di sini (http://www.kompasiana.com/als/menjelaskan-benang-merah-tiga-artikel-bagian-ketiga-hidup-di-sini-saat-ini_5529c4bf6ea8341111552d10), penulis menguraikan serba sedikit mengenai konsep “hidup di sini saat ini” yang dihayati dan dijalankan dalam kehidupan orang arif dan orang-orang yang sedang belajar menempuh jalan kearifan. Kebanyakan orang ‘biasa’ akan mengalami kesulitan dalam memahami pendekatan hidup ini karena hal ini tidak selaras, jika tidak boleh dikatakan bertentangan, dengan penghayatan hidup yang mereka jalani dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam artikel kali ini, penulis secara sengaja memakai padanan istilah bahasa Inggris bukannya penulis tidak mencintai bahasa ibunya sendiri, yakni bahasa Indonesia, tetapi berbagai istilah bahasa kita memang terlalu panjang untuk mengungkapkan hal yang sama. Misalnya, frasa kata ‘seperti apa adanya sebagaimana adanya’ cukup diwakili dengan dua kata dalam bahasa Inggris, yakni ‘what is’ dan frasa kata ‘seperti adanya pada masa lalu’ cukup diekspresikan dengan ‘what was’, dan ‘apa yang seharusnya ada’ sangat tepat diungkapkan dengan ‘what should be’. Kebanyakan orang menjalani kehidupannya sehari-hari dengan melompat-lompat dari “what was” ke “what should be” dan sebaliknya dan seakan-akan merasa tidak betah tinggal di “what is” yang bagi sebagian orang memang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan lahir-batin.
Melarikan Diri dari Kenyataan
Kenyataan itu hanya bermukim di “what is” yang sering juga diistilahkan orang sebagai ‘kesekarangan yang abadi.’ Hal ini dapat diumpamakan seperti orang yang berdiri di hulu sungai dangkal di pegunungan yang airnya selalu mengalir. Air yang benar-benar menyentuh kakinya (kenyataan) itu selalu baru dari sumber mata air di gunung. Arus sungai yang telah melewatinya (masa lalu) telah mengalir ke arah hilir entah ke mana dan air yang akan melewatinya (masa depan) belum tentu menyentuh kedua kaki orang itu. Sekarang marilah kita memerhatikan kehidupan sehari-hari kebanyakan orang, batinnya pada sebagian besar waktu terfokus pada masa lalu (dalam berbagai bentuk: penyesalan terhadap suatu kejadian, mengunyah kenangan—pahit manis getir hambar, merasakan sakit hati yang telah lewat, mengingat-ingat apa yang telah diajarkan oleh orang lain, mengumbar rasa iri pada keberhasilan orang lain, dsb., dst.) dan lalu memroyeksikan semua kejadian masa lalu ini dalam bentuk gagasan ke layar masa depan (ah, saya harus tidak mengulangi kesalahan masa lalu itu; saya mesti mendapatkan lagi pengalaman manis dan menghindari pengalaman pahit getir masa lalu itu; kurang ajar benar orang yang telah membuat saya sakit hati itu, kapan ya saya dapat membalasnya; saya mesti berbuat begini dan begitu agar kelak memasuki surga yang telah dijanjikan; dan harus tidak berbuat begini dan begitu agar tidak terjeblos dalam neraka jahanam; orang itu cerdik pandai dan kaya raya dengan hidup penuh kemudahan, saya mesti menirunya, dsb., dst)
Tidakkah Anda melihat bahwa jenis manusia yang dicontohkan di atas itu sedang melarikan diri dari kenyataan ‘di sini saat ini’? Ia tidak menikmati sentuhan air gunung sejuk di kedua kakinya tetapi mengingat-ingat aliran air yang telah lewat dan mengangankan air masa depan yang bahkan belum tentu melewatinya. Kehidupannya sehari-hari dipenuhi dengan penderitaan lahir-batin yang sebagian besar merupakan akibat dari ketidaktahuannya sendiri. Alih-alih memikirkan besarnya induk pinjaman berserta bunga pinjamannya, mengapa ia tidak bekerja keras saja ‘di sini pada saat ini’ sehingga menghasilkan cukup uang untuk membayar hutang beserta bunganya itu?
Alih-alih berangan-angan dengan muluk-muluk mengimpikan betapa nikmatnya menjadi orang kaya pada kemudian hari dengan segala kemudahan dan fasilitas mewah yang dapat digunakan dengan bebas sekehendaknya, mengapa ia tidak bekerja ekstra keras dan hidup secara ‘smart dan hemat’ di sini pada saat ini sehingga hari ‘kenikmatan’ itu akan tersaji sendiri di hadapannya? Hadapilah kenyataan di sini saat ini dalam “what is” dan hiduplah seperti apa adaanya sebagaimana adanya. Itulah jalan hidup tanpa penderitaan lahir batin, tanpa beban psikologis, tanpa melamun tiada gunanya, tanpa membuang-buang waktu yang membuat frustasi, mengaharap-harapkan sesuatu yang terjadi pada masa depan.
Berusaha Menghindari yang Tidak Terhindarkan
Segala sesuatu yang terjadi di sini pada saat ini “what is” adalah sesuatu yang sama sekali tidak terhindarkan, jika memakai istilah orang beragama Samawi, takdir itu ada ‘di sini saat ini’. Orang yang tidak tahu atau yang menempati spektrum kecerdasan terpadu bagian bawah (‘SKR’) akan berusaha keras menghindar dari TAKDIR yang dikiranya hanyalah berupa nasib yang konon katanya bisa diubah. Manusia prima/’SKT’ dengan seikhlas-ikhlasnya menjalani takdir di sini saat ini dengan kepasrahan total. Setiap tarikan dan hembusan napas adalah takdir baginya.
Contoh kongkritnya ialah ketika musibah datang menimpa kita, SKT akan menerima musibah yang tidak terhindarkan itu dengan ikhlas dan bertindak di sini saat ini juga secara cerdas alami agar keadaan tidak semakin parah, SKR langsung akan melakukan ‘time-travel pikiran’ mengingat ajaran otoritas agamanya bahwa itu merupakan ujian dariNya dan melamunkan pahalanya kelak karena penderitaannya di sini saat ini. Ia menghindar dari kenyataan ‘what is’ dan meloncat ke ‘what was’ yang lalu diproyeksikan ke ‘what should be’. SKT yang telah dengan ikhlas menerima dan berpasrah diri akan terhindar dari penderitaan lahir batin berkepanjangan seperti yang akan dialami oleh para SKR yang melakukan lompatan penuh ketidaktahuan tadi.
SKT telah menyelesaikan masalahnya di sini pada saat ini juga dan ‘move on’ dengan hidupnya yang berbahagia tanpa beban psikologis apapun, sedangkan rekannya yang masih terkebelakang dalam pengetahuan sejati menumpuk penderitaan dan mengumbar keinginan irasionalnya sampai menjelang ajal. Tindakan atau usaha atau berdaya upaya untuk menghindarkan yang tidak terhindarkan adalah tindakan sia-sia tanpa makna.