"Kalau kamu bukan anak raja atau anak ulama besar, maka jadilah penulis."
Pernah mendengar nasihat itu? Jika belum pernah, itu  adalah nasihat salah seorang ulama besar dalam sejarah, beliau adalah Imam Al-Gazhali. Imam Al-Gazhali adalah seorang ulama kelahiran Thus, sebuah kota di wilayah Persia (sekarang Iran) pada tahun 1058 Masehi. Imam Al-Gazali dikenal sebagai ulama yang ahli ilmu Fikih, Tasawuf, Filsafat, dan akhlak.
Sekilas secara tersurat dari nasihat Imam Al-Gazhali tersebut hanyalah saran beliau untuk murid-muridnya  agar menjadi seorang penulis kitab.  Namun, jika kita menelaah apa yang tersirat dalam nasihat tersebut bisa kita sadari bahwa nasihat jadilah penulis sangat luas maknanya, bukan sekedar penulis buku  atau kitab saja.
Pada masa itu, perkembangan peradaban tentu sangat jauh berbeda dengan masa modern sekarang. Masa itu jenis pekerjaan juga sangat terbatas. Pekerjaan hanya berkisar  tentara perang, nelayan, petani, pedagang, atau pegawai pemerintahan. Dengan berbagai keterbatasan itu, termasuk keterbatasan dokumentasi maka sejarah hanya mencatat sosok yang paling penting dan paling berpengaruh pada masa itu, yaitu Para Raja, Khalifah, atau Ulama.
Kalau kita bukan dari ketiga sosok itu, ya nama kita akan ikut terkubur selamanya ketika kita mati. Namun, Imam Al-Gazali memberikan nasihat yang kalau meminjam istilah masa kini bisa kita katakan brilian dan visioner. Jadilah Penulis. Setidaknya ada  hal yang menjadi poin dari maksud  nasihat tersebut, menurut penulis tentunya.
- Menghasilkan karya
- Namanya dan karyanya tetap dikenang walaupun sudah meninggal dunia
- Menginspirasi banyak orang
Menjadi seorang Raja atau anak Ulama pada masa dulu tentu sangat mudah untuk mempunyai 3 hal diatas. Seorang Raja dengan segala kekuasaannya dapat membuat sebuah negeri sesuai dengan apa yang ia inginkan. Jika ia raja yang arif, tentu selain namanya akan dikenang sepanjang zaman, banyak orang juga yang akan terinspirasi dari sosoknya. Jika ia raja yang buruk, setidaknya sejarah akan terus mencatat namanya dari generasi ke generasi.
Apalagi anak seorang ulama besar, tanpa ia membuar suatu karyapun, namanya akan tetap tercatat oleh sejarah, tentu saja berakaitan dengan nasab orangtuanya.
Lalu mengapa Imam Gazhali menyarankan menjadi penulis ?
Ya dengan menjadi penulis maka sejarah bisa mensejajarkan nama kita dengan para Raja, Khalifah, atau Ulama. Pada masa Imam Al-Gazali memang masa dimana ilmu pengetahuan sedang sangat digandrungi oleh umat Islam, termasuk oleh Imam Al-Gazali sendiri. Di masa itu dunia Eropa sedang memasuki 'Dark Age' sementara dunia Islam sedang berjaya di segala bidang dibawah pimpinan Dinasti Abbasiyah. Suatu teori atau penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang mana pada masa itu masih sangat sedikit digali tentu sebuah prestasi yang sangat berharga pada masa itu dan akan terus dikenang. Pada intinya Imam Gazhali menasihati kita agar kita menuliskan nama kita dalam sejarah.
Tapi bagaimana di masa modern ini? Masih relevankah nasihat sang Imam mengingat kondisi dunia sudah jauh lebih berkembang?
Dari sinilah bisa penulis katakan betapa visionernya nasihat sang Ulama. Zaman telah banyak berubah. Menjadi penulis buku atau penemu teori pengetahuan pada masa kini hanyalah satu dari banyak jalan kita untuk menghasilkan suatu karya, menginspirasi banyak orang, dan dikenang sepanjang zaman sesuai dengan nasihat sang Imam. Melalui bidang selain menulis buku atau menemukan teori, kini banyak jalan untuk menjadi 'penulis sejarah'. Sebut saja tiga ikon dari masing --masing bidang ini :