Mahasiswa dan Agent Of Changeadalah dua kata yang acapkali disandingkan, entah siapa yang memulai menyandingkannya namun di Indonesia label sebagai agen perubahan telah jamak digembar-gemborkan kepada para mahasiswa utamanya kalangan mahasiswa baru. Peristiwa Mei 1998 bisa dikatakan awal mula cap agen perubahan melekat pada mahasiswa.Â
Perjuangan mahasiswa Indonesia dalam menegakkan reformasi telah membawa perubahan yang cukup nyata dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Namun ketika perjuangan memulai reformasi itu sudah berhasil, lalu bagaimana dimasa sekarang ini dalam mengisi masa reformasi? perubahan bagaimana yang harus dilakukan oleh mahasiswa?
Dalam mencari jawaban dari pertanyaan ini, kita tidak akan menemukan satu jawaban yang sama dan sepakat dikalangan mahasiswa ataupun pihak lain, sebab masing-masing dari kita tentu mencari arti perubahan berdasarkan sudut pandang kita sendiri, bidang atau hal apa yang ingin kita rubah tentu bisa aja berbeda. Hal ini kemudian ibarat ajaran kitab suci yang dapat menciptakan berbagai mahdzab atau aliran berdasarkan penafsiran masing-masing terhadap kalimat-kalimat dalam kitab suci. Kita  semua sepakat  bahwa perbedaan adalah keniscayaan dalam hidup ini.
Dalam masa-masa penerimaan mahasiswa baru di Indonesia seperti sekarang ini, utamanya dalam masa orientasi mahasiswa, dogma-dogma mahasiswa sebagai agen perubahan begitu masif disebarkan kepada mahasiswa-mahasiswa baru yang sebagian besar masih kosong dalam pemahaman perubahan itu sendiri serta bagaimana jatidirinya sebagai mahasiswa.
Satu ajaran pokok dari dogma agen perubahan adalah bahwa mahasiswa sebagai calon ujung tombak perubahan bangsa ini. Mahasiswa diharapkan bahkan sejak sekarang  masih berstatus mahasiswa baru agar dapat merubah konsisi masyarakat dan bangsa dalam berbagai bidang baik agama, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
 Sebuah dogma yang sekilas terlihat sangat menjanjikan, gemilangnya masa depan bangsa dan bahkan dunia ada di pundak mahasiswa. Tidak ada yang salah dengan impian tersebut, namun realitanya ada ketidaksesuaian dalam memaknai dan cara-cara meraih impian tersebut. Lho? Ketidaksesuaian bagaimana?
Pertama, kita harus menempatkan sosok seorang mahasiswa  dalam dua hal, pertama posisi mahasiswa sebagai sosok makhluk sosial. Label makhluk sosial ini diberikan kepada semua manusia, dan karena mahasiswa juga manusia maka mahasiswa juga bertanggungjawab pada kehidupan sosialnya.
Mahasiswa umumnya bukan lagi anak baru gede, namun selangkah lebih dekat menuju masa kedewasaan. Bukan lagi saatnya untuk main-main, sekolah, jajan, pulang, main, Bukan itu lagi. Mahasiswa dengan perannya juga sebagai anggota masyarakat yang dianggap sudah bukan lagi anak-anak maka ia harus berperan dan bertanggungjawab terhadap tatanan kehidupan lingkungan sekitarnya.
Mahasiswa tidak pantas hanya berdiam diri dikamar dengan smartphone di tangan atau ber-adventure setiap pekan keberbagai belahan bumi dan puncak nusantara namun masjid, musholla, atau kegiatan sosial masyarakat sekitar tempat tinggal sehari-sehari masih dijalankan oleh orang-orang tua dan sepuh saja. Mahasiswa harus menjadi bibit penerus tatanan kehidupan masyarakatnya.
Akan menjadi ironi apabila kalangan mahasiswa yang disebut terpelajar justru tak ada sedikitpun peran terhadap masyarakat  sekitarnya, namun justru pelaksana kegiatan sosial masyarakat bukanlah dari kalangan yang disebut terpelajar. Satu yang menjadi pertanyaan adalah apakah pantas seseorang mahasiswa yang tinggal disuatu daerah berbangga dengan aktivitas dan kesibukannya mengabdi kepada kalangan masyarakat atau golongan yang jauh dari tempat tinggalnya, namun lingkungan sekitarnya  sendiri tak pernah ia  sentuh ? lalu darimana perubahan itu akan dimulai? Menggembar-gemborkan dan mendesak perubahan bangsa dan dunia namun lingkungan terkecil saja tak mau berusaha untuk turut merubah tentu bukanlah hal bijak yang dilakukan oleh agen perubahan.