Cerita-cerita pendekku terbakar..
Pusiku terbakar..
Ucapku terbakar pula. Aku diam, tak bisa, atau tepatnya tak kuasa, berkata-kata. Aku lihat itu api melalap kertas-kertas yang bertumpuk di rak dalam kamarku. Gradasi merah dan kuning itu melahap dengan nikmat tulisan yang semestinya tetap tertulis.
Tetap terceritakan....
Mereka berlarian. Berteriak. Sedang aku hanya diam di tempat. Aku masih memandangi kertas-kertas itu, yang kini terbakar. Disana lah keindahan Asoka mulai hangus. Sebagian berubah dari warna putih bergaris menjadi siluet coklat hitam. Disana lah Indrajit, Dasamuka, dan para raksasa kalang kabut.
“Majaaa!! Lari!!” aku dengar teriakan.
“Lari, Maja!! Sebelum semua terbakar!!” pekikan lainnya.
Ya, aku harus lari. Hidup memang selamanya terbakar. Ujian. Ketika gagal aku harus tetap berlari, meninggalkan kegagalan itu. Ya, benar. Kegagalan itu harus ku tinggal, dan melangkah ke depan dengan pasti.
Tapi kertas-kertas itu??
Cerita-cerita pendek itu?? Kelak panjang. Namun kini terbakar.
Dan cinta??
“Lari, nak.. Usah lah kau pikir tulisan itu!!” Ibuku berteriak, seraya menangis.
Aku menelan ludah. Menelan ketakutan para raksasa Alengka. Kakiku berat. Salah satu kepala Rahwana mungkin lepas terbakar dan menimpa kakiku ini. Aku tak kuasa berlari, berkata pun berat. Andai kertas-kertas adalah tak bisa terbakar, mungkin aku akan menuliskannya. Ketakutanku.
Harus!! Aku harus berlari, atau tak selamat. Aku meninggalkan keindahan itu, atau aku hangus. Aku harus melawan masa lalu, atau masa depanku terkacaukan. Dan harus lah aku yakin seyakin-yakinnya yakin.
Tapi, pusiku terbakar..
Cerita-cerita pendekku terbakar..
1 Februari 2012,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H