Puisi dengan judul Jeritan Perempuan Yang Melawan karya Nolinia Zega, ditulis pada tanggal 18 bulan Maret tahun 2018, merupakan salah satu puisi karya Nolinia Zega yang mengangkat tema sosial dan patriarki.Puisi yang memiliki makna perlawanan seorang perempuan yang dituntut oleh masyarakat harus mengikuti semua stigma mereka dan mengubur jauh-jauh mimpi untuk hidup dengan penuh kebebasan.
  Patriarki itu sendiri memiliki arti keadan sosial yang menempatkan laki-laki di posisi utama dengan memegang kekuasan atas semua hal.Patriarki adalah sebuah sistem struktur sosial dan praktik yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan (Walby 2014:28).Budaya patriarki masih perkembang di aturan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari berbagai ruang lingkup seperti ekonomi,pendidikan,politik dan juga hukum.Di negara maju dan berkembang lainnya  patriarki juga menjadi salah satu masalah yang menjadi perhatian juga.Ketidakadilan yang di dapatkan perempuan menjadi penyebab utama diskriminasi dan berbagai masalah sosial lain.
   Jika di pahami lebih seksama, sistem patriarki ini terpengaruh oleh ajaran agama.Terutama agama islam yang mengajarkan bahwa posisi perempuan harus selalu berada di bawah laki-laki dan posisi laki-laki harus selalu berada di atas perempuan.seperti pada posisi memimpin, mengatur dan menguasai walaupun laki-laki itu mampu atauapun tidak sama sekali.Pada salah satu puisi karya Nolinia Zega yang berjudul Jeritan Perempuan Yang Melawan ini bisa kita lihat kondisi batin perempuan yang selalu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.Apakah kehidupan seperti ini yang mereka inginkan atau mereka hanya berperan sebagai peran pendamping saja.
  Terjerat dalam belenggu ketidakadilan yang membuat gerak kehidupan menjadi terbatas  memaksa diri untuk melawan, tetapi apalah daya sistem patriarki ini sudah menjadi budaya dikalangan masyarakat. Di dalam bahasa Jawa, cukup akrab di telinga kita bahwa tugas perempuan hanyalah macak(berdandan), manak(melahirkan), dan masak. Persepsi ini merupakan persepsi umum masyarakat yang membuat perempuan dilihat hanya sebagai objek dan menempatkan laki-laki pada posisi istimewa.
  Sebagai suatu entitas yang sudah melekat pada masyarakat, patriarki sebenarnya sudah ada di antara masyarakat sejak sangat lama. Dilihat dari sejarahnya, patriarki sebenarnya berawal dari sebuah sejarah panjang tentang kontrol, kekuatan, dan kekuasaan yang pada akhirnya merujuk pada kekerasan (Bahlieda, 2015).Juga berpendapat bahwa budaya dominasi laki-laki ini sebenarnya berawal dari peperangan zaman dahulu yang 'mengizinkan' kekerasan, dianggap suci dengan simbol-simbol religius, dan laki-laki dianggap sebagai pahlawan sementara perempuan diminta untuk tetap tinggal di rumah.(gchrist, 2016)
   Seiring berjalannya waktu, patriarki kini berkembang lebih lanjut menjadi sebuah sistem dan ideologi. Dominasi laki-laki di kalangan masyarakat kini bukan lagi dipandang sebagai sebuah fenomena, tetapi sebagai normalitas yang memberikan pemikiran bahwa memang sudah seharusnya laki-laki.Dalam hal ini juga termasuk penindasan terhadap perempuan (Johnson, 2005). Patriarki sebagai sistem kini bukan lagi hanya membahas tentang perseteruan dua gender, tetapi juga tentang bagaimana ketidaksetaraan di antara keduanya merambah ke segala aspek, seperti hukum, politik, bahkan ekonomi (Higgins, 2018).
  Patriarki menjadi konsep yang digunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan studi feminis, mengacu pada perbedaan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.Dalam konsep patriarki, laki-laki dianggap memiliki keunggulan dalam hal penentuan garis keturunan, hak-hak anak sulung, otonomi dalam relasi sosial, partisipasi dalam ranah publik, politik, agama, dan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin.Baik dalam masyarakat modern maupun tradisional, patriarki merupakan kekuatan dominan. Struktur sosial masyarakat patriarki memungkinkan laki-laki menindas, mengeksploitasi, dan mengontrol perempuan, (Susanto, Hasan, Nanang)
  Patriarki memiliki hubungan yang erat dengan struktur sosial, karena berfungsi sebagai sistem yang mengatur pola hubungan, kekuasaan, dan akses terhadap sumber daya dalam masyarakat. Hubungan ini dapat dilihat dalam berbagai aspek, seperti keluarga, kebijakan, ekonomi, dan budaya, yang semuanya menunjukkan bagaimana patriarki membentuk pola sosial tertentu yang sering kali mempertahankan ketidaksetaraan gender.Hubungan patriarki dalam keluarga lebih mendominasi.Peran laki-laki biasanya berada di puncak tatanan sebagai kepala keluarga. Mereka memiliki otoritas atas keputusan-keputusan besar, seperti pendidikan anak, pengelolaan keuangan, dan kehidupan sosial keluarga. Sebaliknya, perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi bawah dengan tanggung jawab dalam seperti mengurus rumah dan anak-anak.
  Patriarki juga memengaruhi kebijakan sosial yang diterapkan oleh pemerintah dan lembaga lainnya. Dalam masyarakat yang patriarki, kebijakan cenderung lebih menguntungkan laki-laki dan mengabaikan kebutuhan perempuan. Contohnya, dalam banyak sistem hukum tradisional, hak-hak perempuan dibatasi, seperti tidak diberikannya hak waris yang setara atau tidak diakuinya perempuan sebagai kepala keluarga. Struktur sosial yang mendiskriminasi perempuan, khususnya dalam akses terhadap pekerjaan, upah, dan peluang karier. Klise sosial seperti "pekerjaan perempuan" atau "pekerjaan laki-laki" menciptakan diskriminasi pekerjaan yang mempersempit peluang perempuan untuk masuk ke sektor yang mendominasi laki-laki, seperti teknologi atau kepemimpinan bisnis.
  Patriarki juga terjalin dengan norma budaya dan tradisi dalam masyarakat. Banyak budaya patriarki memiliki paparan yang menempatkan laki-laki sebagai simbol kekuatan, rasionalitas, dan otoritas, sementara perempuan diasosiasikan dengan kelemahan, emosionalitas, dan kepatuhan. Pola ini tidak hanya tercermin dalam cerita rakyat dan ritual tradisional tetapi juga dalam industri modern seperti film, iklan, dan media sosial. Sistem patriarkal membatasi mobilitas sosial perempuan, baik secara vertikal (misalnya kenaikan status sosial) maupun horizontal (akses ke berbagai jenis peran sosial). Dalam banyak masyarakat patriarkal, perempuan tidak memiliki kebebasan yang sama untuk mendapatkan pendidikan atau pelatihan yang dapat membantu mereka meraih status sosial yang lebih tinggi.
  Patriarki bertahan dalam struktur sosial karena ia melibatkan berbagai institusi, seperti pendidikan, agama, media, dan hukum, yang secara langsung atau tidak langsung melestarikan nilai-nilai patriarkal. Contohnya adalah sistem pendidikan yang sering kali mengajarkan peran gender tradisional kepada anak-anak, dengan mengarahkan perempuan ke bidang yang "lebih feminin" dan laki-laki ke bidang yang "lebih maskulin."
Institusi agama juga memiliki peran signifikan dalam memperkuat patriarki melalui ajaran yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus tunduk pada laki-laki. Pada saat yang sama, media sering kali memperkuat stereotip gender melalui konten yang menggambarkan perempuan sebagai objek atau menekankan kecantikan fisik sebagai nilai utama mereka.
Daftar Pustaka
  Walby, Sylvia. (2014). Theorizing Patriarchy (Teorisasi Patriarki). Yokyakarta: Jalasutra.
  Bahlieda, R. (2015). Chapter 1: The Legacy Of Patriarchy. Counterpoints, 488, 15--67.
  Christ, C. P. (2016). A New Definition of Patriarchy: Control of Women's Sexuality, Private Property, and War. Feminist Theology, 24(3), 214--225.
  Johnson, A. G. (2005). The Gender Knot: Unraveling Our Patriarchal Legacy. Philadelphia : Temple University Press.
  Susanto, Hasan, Nanang. Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam Budaya Patriarki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H