Mohon tunggu...
abrar al-Qarni
abrar al-Qarni Mohon Tunggu... -

hidup hanya sekali, buat hidup yang bermanfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemimpin di “Depan” Bukan di “Atas”

7 November 2013   16:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:29 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Filosofi menjadi pemimpin bagi saya, bisa diringkas dalam satu kata saja, yaitu di depan. Bagi saya, menjadi seorang pemimpin berarti memiliki kualifikasi “berada di depan”, bukannya “di atas”.

Pemimpin “di atas” menggunakan hanya jari telunjukknya untuk menyatakan “kerjakan”, sementara pemimpin yang “di depan” menggunakan seluruh jari tangannya untuk menyatakan “mari kita lakukan”. Pemimpin “di atas”, menggunakan seluruh jari tangannya untuk “memukul”, sementara yang “di depan” menggunakan seluruh jari tangannya untuk “mengajak”. Pemimpin “di atas” menggunakan tangannya untuk “mematahkan”, sementara pemimpin “di depan” menggunakan tangannya untuk “menyatukan”. Pemimpin yang “di atas”, menggunakan jempolnya untuk memuji sementara keempat jemari lainnya terarah kepadanya, sementara pemimpin yang “di depan” menggunakan kelima jarinya untuk “menarik” dan “mendorong”.

Begitulah. Menjadi pemimpin yang “di depan”, memang tidak gampang. Yang berada di depan berarti bersiap untuk dinilai oleh yang dibelakang. Tetapi pada saat yang sama, juga harus menjadi pedoman bagi yang di belakang. Di Skotlandia, bebek-bebek (terbang) biasanya hijrah ke Selatan. Mereka terbang melintasi perjalanan bermil-mil jauhnya, dan membentuk formasi untuk memudahkan perjalanan. Untuk itu, mereka menempatkan seekor bebek pemimpin di depan, bukannya di belakang, terlebih bukan di atas.

Pemimpin memang bukan bebek yang hanya bisa membebek. Tetapi bebek bisa menjadi pelajaran. Bahwa pemimpin yang berada di depan memang harus bisa menjadi panutan. Menjadi panutan, yang mampu mengarahkan, memberi pedoman, termasuk mengetahui kondisi yang dibelakang.

Bagi bangsa sebesar kita, menjadi pemimpin yang “di depan”, memang akan sangat sukar. Bukan hanya karena memang tidak credible untuk menjadi yang “di depan”, tetapi karena ada lebih banyak orang yang memilih untuk “di atas”. “Di atas”, lebih gampang, dan lebih berkuasa. Menjadi yang “di atas”, penuh dengan kekaguman yang memabukkan. Sementara kalau berada “di depan”, jangan harap mendapatkan pujian. Wong tidak akan ada yang mendongakkan kepala, lalu bertepuk tangan. Bahkan mustahil menunggu orang-orang standing ovasion kepada kita. Maka jadilah kita bangsa yang besar, tanpa pemimpin.

Bukan hanya itu. Kesulitan mencari pemimpin yang “di depan” juga terjadi karena tidak ada tempat bagi yang “di depan”. Yang ada hanyalah tempat bagi orang-orang yang “di atas”. Dalam suatu organisasi, CEO yang berada “di atas” menjadi idaman dan cita-cita. Medali emas, perak dan perunggu tersedia bagi mereka yang pelan-pelan naik, naik, dan naik hingga berada “di atas”. Betapa akan sangat berbahagianya melihat kita merintis karier pelan-pelan, lalu mencapai posisi puncak. Indonesia, sama saja. Jabatan-jabatan puncak, yaitu yang “di atas”, adalah kejaran yang harus dicapai dengan jalan apapun, termasuk yang tidak halal. Yang inkonstitusional, bahasa hukumnya. Yang penting “ke atas”.

Menjadi manusia pembelajar berarti belajar berada “di depan”. Saya teringat dengan kata-kata yang dulu-sewaktu SD-sudah saya tahu dan hafal. Kira-kira begini bunyi nya : yang di depan memberi teladan. Apakah kita kesulitan mencari pemimpin yang berada “di depan” karena kita tidak bisa menjadi teladan? Apakah menjadi teladan begitu sukarnya?

Benar. Berada “di depan”, memang begitu sukar. Bersiap-siap menolong mereka yang kelelahan dalam perjalanan hidup ini, mengulurkan tangan bagi mereka yang membutuhkan bantuan, mendorong mereka yang lemah, bahkan mengangkat mereka yang terluka. Berada “di depan” juga harus merelakan diri untuk menunggu, kalau perlu membiarkan mereka yang berada di belakang melepas dahaga, barulah meneruskan perjalanan. Bagi mereka yang berada “di depan”, hidup ini bukanlah tujuan, tetapi memberi arti hidup adalah tujuan yang harus dikedepankan.

Berada “di depan”. Kalau saja semuanya berkehendak berada “di depan”, maka siapa yang akan di belakang? Tiada lagi. Karena semuanya sudah “di depan”. Tidak akan ada lagi yang perlu diatur, karena semuanya sudah bisa mengatur, bahkan menjalankan. Tidak akan ada lagi yang perlu ditunggu. Karena semuanya sudah maju bersama.

Kalau saja saya diberikan kesempatan untuk berbicara kepada semua pemimpin bangsa di dunia mengenai filosofi kepemimpinan, maka saya akan maju ke depan-benar-benar ke depan-lalu berkata : mari ikut saya “ke depan”.

Saya harap tulisan ini membawa pemikiran kita “ke depan”, bukan “ke atas” (lagi).

http://abrardillahi.wordpress.com/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun