Sejak menulis secara serius mulai awal 2018 lalu, saya benar-benar tak bisa berhenti menulis. Dalam tiga bulan saya bisa membukukan sebuah novel, yang kemudian terbit secara selfpublishing melalui salah satu mitra penerbitan online. Walau hanya laku beberapa eksemplar saja, saya tak mengalami kekecewaan berarti dan jemari saya terus saja menari-nari di atas papan ketik untuk menuliskan cerita-cerita baru. Padahal, saya sendirian di sini; tak berteman secara nyata dengan seorang penulispun.Â
Jelas itu jadi permasalahan besar karena saya terhitung terjun bebas saat memutuskan untuk menulis secara serius. Tambah lagi dengan pengalaman baca yang sangat minim, yang hanya bersumber dari perpustakaan di jaman sekolah dulu. Dengan demikian, sadarlah saya bahwa bagi saya menulis adalah sesuatu yang cenderung tak masuk akal.
Sebagai penulis pemula pastinya saya butuh orang-orang untuk tanya-jawab seputar dunia penulisan, juga saya membutuhkan bahan bacaan yang banyak. Akan tetapi, saya hanyalah sendiri di sini dan hanya bisa mengharapkan informasi seputar menulis dari googling. Sebab, toko buku di kota ini sangat terbatas, mungkin sudah tak ada. Untuk membeli buku ke toko langsung saya harus pergi ke ibu kota provinsi, di sanalah toko buku berserakan. Atau saya bisa menggunakan alternatif lain, yaitu membeli secara online, yang ongkos kirimnya setara dengan harga buku yang dibeli. Bahkan, sering dua kali lebih mahal daripada harga bukunya. Menyedihkan. Namun, seperti yang saya katakan tadi, saya tak bisa berhenti menulis.
Beberapa bulan yang lalu saya berhasil mengumpulkan puluhan puisi dan mengikutsertakannya dalam sebuah acara yang diadakan salah satu penerbit. Mungkin acara itu batal, karena tak ada berita apapun tentang acara itu setelahnya. Maka, karena takut karya-karya itu disalahgunakan atau semacamnya, saya pajang puisi-puisi itu di blog yang saya buat beberapa saat setelahnya.Â
Dari blog itu saya semakin kencang menulis dan itu berdampak pada satu naskah novel lagi yang berhasil saya selesaikan. Kini naskah itu masih di meja redaksi sebuah penerbitan besar. Sudah tiga bulan naskah novel ke dua itu di sana dan penantian kabar terhadap layak terbit atau tidaknya naskah itu jadi sesuatu yang berbeda lagi dalam cerita menulis saya. Hampir setiap hari saya mengecek e-mail karena sudah sangat tak sabar mendapat jawaban.Â
Dalam pikiran saya, jawaban atas naskah novel itu bisa jadi tanda bahwa saya perlu terus menulis dengan serius atau merubahnya jadi sekedar iseng-iseng saja.
Berulang kali pula saya bertanya pada diri sendiri, "Penulis itu tak punya gaji bulanan, rejekinya ada hanya ketika tulisannya laku, yakin masih mau terus menulis?" Lalu, suara dalam diri saya menjawabnya selang berapa lama kemudian, "Menulis adalah cara kita bicara kepada banyak orang tentang kegelisahan kita yang sudah kita selesaikan dalam pergumulan di kepala dan di jiwa. Jika beruntung, yang kita sampaikan akan segera didengar.Â
Jika tidak, kita harus menunggu orang-orang mendengarnya" Dengan begitu, suara dalam diri saya sudah menyatakan bahwa menulis adalah panggilan hati saya. Memang, saya adalah seorang yang gelisah. Apa saja bisa jadi kegelisahan saya; tangisan anak kecil yang diabaikan orang tuanya, anak sekolah yang bolos , suami yang bermata keranjang, istri yang kebanyakan bermedia sosial, perempuan yang digoda di jalanan, tukang parkir yang lebih mementingkan kendaraan yang dijaganya, tokoh publik yang berkata-kata tak pantas di depan orang ramai, akun-akun Instagram yang berkomentar dengan promosi jualannya, apa saja. Akan tetapi, cukupkah kegelisahan itu jadi alasan untuk terus menulis? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H