Mohon tunggu...
Alpha Widyatmoko
Alpha Widyatmoko Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Anak Muda yang hidup suka-suka,karena bagi saya, tua itu pasti, tapi dewasa itu fakultatif\r\nMati itu pasti, tapi hidup itu pilihan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Behind The Scene Kehidupan di SMA PL Van Lith Muntilan (Bacalah dengan Tingkat Kedewasaan yang Cukup)

12 Mei 2013   06:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:42 7806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Merinding rasanya setiap pulang ke rumah selalu melewati suatu bangunan megah yang konon katanya adalah sebuah benteng yang dibangun dengan sentuhan arsitektur belanda. Benteng yang saat ini telah disulap menjadi sebuah sekolah berasrama yang dikelola oleh Yayasan Pangudi Luhur dan diberi nama SMA PANGUDI LUHUR VAN LITH MUNTILAN. Suatu tempat dimana saya menghabiskan 3 tahun masa alay dan ababil saya.

Entah suatu keberuntungan (atau kesialan), saya adalah satu dari sekian banyak orang muntilan yang diberikan kesempatan (atau cobaan) untuk merasakan manis dan pahitnya hidup di van lith.  Bagi beberapa manusia yang berkesempatan untuk sekolah di Van Lith, siswa yang berasal dari muntilan dianggap beruntung karena “kita” tidak perlu menanggung beban psikologi yaitu meninggalkan rumah terlalu jauh. Kalau homesick, tinggal lompat langsung sampe rumah (yang ini rada lebay sih). Tapi bagi saya, hal tersebut merupakan sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, dekat dengan rumah adalah suatu keuntungan karena tidak perlu menunggu minggu ke-2 untuk sekedar menengok keadaan di rumah. Tetapi di sisi lain, saya harus pintar-pintar “memakai topeng” untuk selalu bersikap baik di mata pendamping dan pamong demi menjaga nama baik orang tua.

Saya bukanlah murid Van Lith dengan stereotipe anak Van Lith kebanyakan. Dilihat dari segi intelektualitas, saya bukan siswa yang brilian. Nilai saya biasa-biasa saja. Dilihat dari segi sikap pun tak jauh berbeda. Saya bukanlah siswa yang setiap pagi bisa bangun jam 4.30, belajar 3 jam per hari di asrama, selalu berdoa bersama di malam hari, mencuci piring sesudah makan, mencuci pakaian sendiri, dan hidup disiplin bagaikan robot yang sudah terprogram sesuai aturan yang ditanamkan di otaknya.

Di Van Lith itu kita tidak melulu disuguhi sirup, tidak jarang juga kita (dipaksa) mengecap pahitnya brotowali dalam kehidupan berasrama. Gesekan-gesekan yang terjadi dengan angkatan lain pun pasti ada. Beruntung bagi saya, saya belom pernah merasakan horornya mendapatkan panggilan “ woy gue tunggu lo di WP”, atau tiba-tiba berada ditengah kerumunan senior yang siap melayangkan tinjunya kapan saja. Oleh sebab itu saya pun sungkan ketika diajak teman-teman untuk melakukan pemanasan tinju amatir (dengan “mainan” / “manusia” sebagai sandsack nya) di wc peziarah / kawasan wc aspa 3. Bukannya cupu, saya hanya tidak punya ketegaan untuk meng-KO-kan anak orang yang (mungkin) sebenernya hanya melakukan suatu kesalahan sepele yang membuat gatal tangan para senior-seniornya. (Yah, namanya juga asrama, kelas 1 jadi mainan, kelas 2 manusia, kelas 3 dewa.)

Bruder Agus Sekti (yang ngasih stiker lima jari di pipi paling banyak sepanjang sejarah hidup saya) pernah bercerita kepada saya seperti ini ; “Van Lith itu ibarat seorang penjual nasi bungkus yang berjualan di terminal. Dari Kenek, Supir, Pedagang, Anak sekolah, sampai tukang parkir makan disana. Ada yang merasa asin, ada yang merasa pait, ada yang merasa asam, ada pula yang merasa enak, tetapi tanpa mereka sadari, berkat nasi bungkus itulah mereka dapat terus melanjutkan kegiatan mereka. Begitu juga dengan Didikan Van Lith. Semua siswanya datang dari bermacam-macam daerah. Ada yang suka dengan aturannya, ada yang tidak suka, tetapi secara tidak mereka sadari, Van Lith sudah menanamkan banyak hal yang pasti berguna bagi masa depan anak didiknya.” Ya, Van Lith memang tidak bisa memuaskan semua pihak, tetapi sadar atau tidak, pasti ada suatu hal positif yang sudah Van Lith tanamkan di hatimu. Tinggal bagaimana caranya kamu menggunakan api Van Lith yang sudah tertanam di dadamu!

Demikian refleksi pengalaman hidup saya semasa di Van Lith. Saya menuliskan beberapa sisi kelam di Van Lith karena saya ingin orang diluar Van Lith tidak hanya tahu Keindahan Van Lith dan lulusannya, tetapi juga bisa mengenal Van Lith apa adanya, seperti saya yang mulai berusaha melepaskan topeng dan bersikap apa adanya selepas meninggalkan Van Lith.Terimakasih Van Lith untuk 3 tahun yang sangat istimewa di masa remajaku. Suatu kebahagiaan dapat merasakan kehidupan istimewa ala Van Lith.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun