Namanya Nasr Hamid Abu Zayd, lahir 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta Mesir. Pendidikannya dari mulai SI sampai S3 diambil dalam Jurusan Bahasa Arab Cairo University dengan predikat highest honors. Di tahun 1992 karyanya yang berjudul Naqd Khitab al-Diniy berhasil menspektakulerkan namanya. Karyanya ditengarai fenomenal karena melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah SAW, menodai al-Qur’an, bahkan menghina Ulama salaf.
Ceritanya, ketika di Mei 1992, Nasr Hamid Abu Zayd mengajukan promosi guru besar di Fakultas Sastra Cairo University. Namun bukannya terkabul, enam bulan kemudian, tepatnya pada 3 Desember 1992 promosinya ditolak. Dia tidak layak menjadi profesor. Konflik yang berasal dari karyanya itu berujung pada Nasr Hamid Abu Zayd dihukum kafir oleh Mahkamah kalau tidak bertaubat dengan dukungan lebih 2000 Ulama Azhar. Pada 10 Juni 1993, sejumlah pengacara dipimpin oleh M. Samida Abdushamad memperkarakan Abu Zayd di pengadilan Giza. Meskipun tuntutan itu sempat dibatalkan oleh pengadilan di 27 Januari 1994, namun di tingkat banding akhirnya tuntutan itu dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Mahkamah Cairo menyatakan Abu Zayd telah murtad dan wajib mentalaq istrinya. Dengan catatan –jika yang bersangkutan tidak mau- maka harus dihukum mati. Ditekan dengan sederetan tuntutan, pada 23 Juli 1995 Nasr Hamid melarikan diri ke Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leidin Belanda dan hidup di sana sejak 2 Oktober 1995 hingga akhir hayatnya, 5 Juli 2010.
Saya tidak bicara banyak soal bagaimana beliau secara kronologis-historis, namun ada beberapa poin yang ingin saya kedepankan di sini. Berhubung, ada beberapa pihak yang secara khusus di sini saya katakan ‘menolak’ pengkafiran Abu Zayd, karena disinyalir politis. Bahkan, paham Nasr Hamid Azu Zayd termasuk ‘dimuliakan’ di beb erapa ranah intelektual perguruan tinggi di Indonesia. Berbicara pengkafiran Abu Zayd, fatwa Ulama yang terhimpun itu di mata mereka dinilai tidak otoritatif, terbawa nafsu, dan terkesan menghakimi. Entah apa dalih yang dikemukakan, namun pada intinya pemujaan terhadap Abu Zayd dan penolakan fatwa Ulama itu berkaitan secara sinergis.
Catatan penting di sini, ada urgensitas berbentuk dekonstruksi Syari’ah di sini. Harus diingat bahwa keputusan Ulama itu adalah hasil Ijtihad, bukan lagi perspektif perorangan maupun keputusan personal. Jadi aneh kalau lantas suara-suara penolakan terdengar, berkaitan dengan kasus Abu Zayd. Coba kita sedikit mereview, mengutip Syamsuddin Arif dalam Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran (2008), ada sepuluh poin kesalahan-kesalahan Abu Zayd yang ditetapkan Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1995.
Pertama, Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam Al-Qur’an seperti ‘arsy malaikat, setan, jin dan neraka dalah mitos belaka. Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produik budaya (muntaj tsaqafiy), dan karenanya mengingkati status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada di Lawh al-Mahfudz. Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur;an adalah teks linguistik (nash lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan Beliau. Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an adalah tradisi reaksioner serta berpendapat bahwa Syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam. Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agma universal bagi seluruh umat manusia. Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan teks Quraisy dan karena itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy. Kedelapan, menginkari otensitas Sunnah Rasulullah SAW. Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadith). Dan Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
Maka sekedar basic akal sehat pun jelas akan menolak. Bagaimana mungkin faham yang semacam itu boleh dilestarikan, apalagi disebarluaskan. Tak perlu kuliah tinggi-tinggi, orang Muslim pedalaman juga tahu itu. Menghina Allah dan Rasul-Nya adalah perkara besar. Posisi Abu Zayd yang juga dosen dipertanyakan, bagaimana jika murid-muridnya teracuni? Sebelum bahaya meluas Abu Zayd pun ditindak. Dia kabur melarikan diri ke Belanda.
Namun di Belanda, dia justru dielu-elukan. Rijkusuniversiteit Leiden mengangkatnya sebagai dosen, Institute of Advance Studies (Wissenchaftskollleg) Berlin mengangkatnya sebagai ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Dari Amerika ikut-ikutan, di 8 Juni 2002 the Franklin and Eleanor Institute menganugerahkan ‘The Freedom of Worshop Medal’ sebagai penghargaan atas kebebasan wacana berpikirnya yang ‘berani’, serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi dan falsafah Kristen. Jadi ketika di Islam dia menjadi terdakwa, di Leiden justru malah tertawa. Sebuah perbedaan paradigma yang menarik.
Dan itulah yang kemudian di Indonesia berkembang kembali menjadi wacana. Padahal sebenarnya sudah jelas, namun kembali diotak-atik. Wacana hermeneutika Abu Zayd yang sebetulnya cerita lama ‘dirubah’ kembali menjadi sebuah wacana baku. Pandangan tekstual al-Qur’annya itu dianggap mampu menjadi alternatif tafsir yang konon tidak lagi relevan. Di tengah-tengah itu ada kalimat-kalimat yang mendekonstruksi fatwa atas Abu Zayd. Apakah itu lucu? Padahal, keputusan hukum yang dijatuhkan kepada Abu Zayd itu diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Seperti yang sudah saya cuplik sedikit di atas, maka keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun akademis. Selain berdasarkan ijma’ keputusan Pemerintah Mesir juga didukung oleh Majelis Ulama Azhar.
Sebenarnya Abu Zayd masih bisa memilih, untuk menarik hasil pikirannya atau tetap getol dengan kerancuannya. Namun dia lebih memilih yang kedua. Dan dengan eksistensinya di Leiden pemikirannya pun menyebar luas, bahkan diadopsi di Indonesia. Ini lebih lucu lagi.
Padahal Josef Van Ess yang Profesor Studi Islam di Jerman itu saja tahu, kalau hermeneutika itu bukan untuk Studi Islam. Namun kenapa para penggiat dirasat islamiyah di Indonesia tidak banyak yang mengaminkan? Ada apa gerangan?
Semoga kita tidak menjadi pengikut Abu Zayd, yang bagaikan orang yang menukar kangkung segar dengan beras beracun. Wallahu A’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H