Dalam sebuah diskursus Filsafat di Barat, biasa kita dengar adanya Modern dan Postmodern. Apa sebenarnya makna esensial dari etimologi ini dan kaitannya dengan Peradaban Barat?
Modernism secara harfiah berarti ‘Modernisasi’, namun sejatinya dia merujuk pada era Barat Modern terhitung sejak masa Renaisans, berlanjut pada masa pencerahan (Enlightment) hingga kurun abad 19. Barat Modern menjadikan manusia -sebagai pelaku sains- sebagai sumber kebenaran. Bukan lagi Tuhan. Hal ini dikarenakan banyaknya permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh agama, namun justru teratasi dengan sains temuan manusia. Diskursus meletakkan Tuhan secara sentral hanya pada para teolog, sedangkan para filosof lebih tertarik pada Sains yang bersifat rasional dan empiris.
Tuhan yang metafisik, ditolak, kemudian dikesampingkan dalam masyarakat modern karena bertentangan sains yang empiris dan rasional. Inilah konsep sekularisasi, yang dengannya konsep ilmu tidak lagi berkaitan dengan agama (desakralisasi). Dari sini dapat diketahui bahwa Modernitas pada intinya adalah cara berpikir (State of Mind) yang serba rasional dan empiris, yang diaplikasikan ke dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Sedangkan Postmodernism adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme. Jikalau di Barat Modern Manusia menjadi sentral kebenaran, Barat Postmodern justru tidak memiliki sentral. Maka tidaklah heran jika Barat Postmodern menghasilkan produk-produk hasil pemikiran yang bersifat relativism, equality, nihilism, serta Reconstruction. Sains yang sempat diyakini mampu menjadi problem resolving manusia mulai dipertanyakan. Realitas pun diragukan memiliki struktur yang dapat dipahami oleh Manusia.
Secara filosofis, Barat Postmodernism adalah sebuah gerakan yang tidak lagi mempercayai kebenaran objektif yang menjadi ciri Barat Modern. Fenomena ini bisa dilacak dari pemikiran Immanuel Kant (1724-1804), Georg Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831), dan Karl Marx (1818-1883) yang menganggap bahwa masyarakat Barat adalah masyarakat yang progresif dan tidak akan pernah sampai pada sebuah finalitas. Penolakan atas finalitas sebuah nilai atau moral kemudian lebih jauh mampu dilacak dalam pemikiran Nietzsche (1844-1900). Bagi Nietzsche, nilai-nilai yang ada di masyarakat Modern tatkala itu hanyalah sekumpulan nilai yang sejatinya berasal dari manusia. Dan dengannya, dia relatif. Maka dari itu patutlah segenap manusia untuk meruntuhkan segala macam nilai yang ada sebelum merekonstruknya dengan nilai-nilai yang baru dari manusia. Di sini Nietzsche menyatakan bahwa nilai kebenaran tidaklah lagi berdasarkan dogma agama, melainkan berdasarkan subjektivitas manusia.
Oleh sebab itu Barat Postmodern tidak bisa menerima ide tentang kebenaran tunggal, eksklusif, obyektif, eksternal, maupun transenden yang biasa ditemukan di dalam agama-agama. Permasalahannya adalah ketika Postmodern mereduksi kebenaran menjadi sangat relatif hingga berimplikasi pada penafsiran realitas yang tanpa batas, Tentunya tidak mungkin ditemukan nilai yang ‘diakui’ maupun memiliki kelebihan terhadap nilai-nilai yang lain. Maka sesungguhnya baik Agama maupun Manusia tidak bisa menjadi ‘benar’ atas nilai ‘kebenaran’ lain. Jadilah Barat Postmodern Era yang tidak memiliki sentral kebenaran atau Non-Centered.
Itulah Barat, antara Modern dan Postmodern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H