Pemilu tinggal sehari lagi. Yang akan menggunakan hak pilihnya, mari pikirkan dengan seksama karena apa yang kita pilih akan menentukan wajah bangsa kita 5 tahun mendatang, dan yang memilih ‘golput’ alias abstain di tahun ini mungkin kita jadikan refleksi saja, bahwa ada kalangan yang sudah cukup tinggi kualifikasi pilihannya, yang artinya calon-calon wakil rakyat yang tersaji dianggap belum memenuhi standar kualifikasi sebagai elit politisi — tentu dengan tidak mengesampingkan golput karena alasan teknis.
Kembali ke saudara-saudara yang akan menggunakan hak pilihnya besok, termasuk saya sendiri, ada bebearapa hal yang ingin saya bagi, terkait rapor para legislator di DPR-RI periode kemarin. Mengapa? Karena banyak para legislator periode kemarin ikut kontes lagi tahun ini. Penting melihat rekam jejak mereka dan menilai bagaimana kinerja mereka dalam menjalankan mandat sebagai wakil rakyat. Dalam organisasi demokrasi manapun, mandat mengkonsekwensikan tiga hal, adanya wewenang, tugas dan tanggung jawab. Yang memberimandat tentu sah-sah saja jika ingin mengevaluasi pelaksanaan mandat yang diberikan tersebut.
Rekam jejak ini merupakan salah satu panduan yang sangat bagus dalam menentukan pilihan, kalau nilainya ‘merah’ atau misalnya baik, silahkan kita bijaki. Decision is on our hand.
Lima Ratus Tujuh orang dari Lima Ratus Sembilan Belas legislator periode kemarin (2009-2014) kembali mencalonkan diri tahun ini, yang berarti ada sekitar 97% wajah lama akan bertarung lagi di pemilihan legislatif periode ini. Parpol yang ada seperti masih sangat mengandalkan kinerja mereka, mungkin lebih tepat popularitas mereka, padahal berdasarkan data yang dirilis oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen atau FORMAPPI, mayoritas kinerja mereka buruk.
[caption id="attachment_302479" align="aligncenter" width="401" caption="(sumber : https://www.facebook.com/Formappi)"][/caption]
Bahkan 61,3% dari legislator periode lalu kinerjanya sangat buruk. Jika ditotal yang berkinerja baik dan sangat baik hanya 6,4% atau hanya 33 orang. Yang kinerjanya dianggap cukup hanya sekitar 51 orang atau 9,8%. Sisanya sudah jelas. Buruk!
Menurut Formappi lagi, dasar penilaian kinerja legislator tersebut berbasis pada risalah rapat, baik di tingkat fraksi maupun tingkat komisi. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja mereka antara lain kedekatan sang legislator dengan konstituen di daerah pemilihannya, kemudian kehadiran dan keaktifannya dalam lembaga DPR itu sendiri. Penilaian yang ketiga, apakah dalam setiap rapat pembahasan sang legislator tersebut berbicara dan menyampaikan gagasannya —substansi atau bobot gagasan atau argumen belum lagi dinilai. Pendekatan berikutnya adalah, apakah sang anggota DPR tersebut melaporkan secara berkala harta kekayaannya, dan pendekatan yang terakhir, apakah mereka senantiasa membuat laporan kegiatannya atau tidak.
Pendekatan yang digunakan rasanya sudah wajar dan memang hal-hal itulah yang menjadi tugas-tugas dasar selaku anggota DPR. Pendekatan tersebut belum menyentuh misalnya, bagaimana gagasan mereka tentang berdemokrasi dan bernegara yang lebih baik, atau bagaimana visi mereka tentang kebangasaan atau kemanusiaan yang kemudian dituangkan dalam sistem dan undang-undang, atau masalah yang paling mendasar bangsa kita, bagaimana pengentasan kemiskinan dan revitalisasi pendidikan. Sungguh hanya dengan pendekatan kuantitatif saja, rapor anggota dewan kita sudah merah sana sini, lalu bagaimana jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan-pendekatan kualitatif tadi.
FORMAPPI juga menyempatkan diri untuk menilai kinerja anggota DPR dari kalangan perempuan. Hasilnya setali tiga uang, bahkan yang mempunyai kinerja sangat baik tidak ada sama sekali atawa 0%. Anggota DPR perempuan yang kinerjanya baik hanya 5%, yang cukup hanya 14%, persentase sisanya lagi kinerjanya buruk dan sangat buruk.
Lalu apa tanggapan badan kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Rakyat? Kendati sempat mencoba berapologi bahwa penilaian buruk itu overgeneralisasi, nila setitik rusak susu sebelanga kata beliau, tapi pihak BK dengan cepat pasrah mengakui kebenaran penilaian tersebut ketika diperlihatkan data statistik yang dirilis FORMAPPI. BK lantas menjelaskan bahwa, kinerja buruk anggota dewan memang karena sanksi-sanksi yang diterapkan untuk anggota yang bandel sangat ringan. Ketua BK menambahkan lagi bahwa persoalan kehadiran yang sudah diatur dalam UUD Tata Tertib DPR masih juga diakal-akali lantaran banyak celah dan tidak cukup kuat.
Jika Badan Kehormatan pun sulit untuk diharapkan, lagi-lagi saya mempertanyakan peran partai politik dalam melakukan penyaringan calon anggota legislatifnya. Rasa-rasanya belum ada satu parpol pun yang betul-betul menjalankan fit and proper test untuk calon legislatifnya. Maka harapan terakhir ada di tangan kita para konstituen. Mari pikir dulu sebelum pilih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H