Mohon tunggu...
Ade Hermawan
Ade Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Ora et Labora

An Ordinary Citizen of Indonesia, civil engineer, social-preneur, youth of the nation.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Malas Kuliah

25 Mei 2014   15:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia ditakdirkan untuk menyukai tantangan. Bukan sekedar menyukai, manusia jelas merasa eksis apabila menyelesaikan apa yang menjadi tantangan baginya. Tantangan adalah saluran untuk mengaktualisasikan diri. Menjawab tantangan berati mengaktualisasikan diri. Mungkin Abraham Maslow termasuk yang sangat setuju akan hal ini. Psikolog Humanis amerika itu menempatkan kebutuhan akan aktualisasi diri di puncak piramidanya sebagaimana yang ia teorikan. Saya lalu melanjutkan dengan premis ala-ala Rene Descartes : Aku beraktualisasi, maka aku ada.

Terlebih lagi jika tantangan itu menawarkan hadiah yang juga tidak sedikit semacam program acara dari amerika bertajuk Fear Factor. Bayangkan, sebentar! Saya coba membayangkan. Tunggu… yang mau dibayangkan ini apa? Oh, betul! Bayangkan mereka yang menjadi pesertanya mau-maunya menyantap kecoak dan belatung hidup-hidup. Memang, penyelenggaranya tetap menyediakan saus tomat, tapi tetap saja itu kecoak dan belatung. Membayangkannya saja aku sulit. Apa artinya saus tomat!

Saya termasuk orang yang meyakini bahwa target dan bonus adalah dwi-tunggal. Tapi bukan berarti bonus adalah target dan target otomatis bonus. Maksud saya, jika anda mengejar target, maka anda akan mendapatkan tidak hanya target tapi juga bonus ikutan. Namun logika sebaliknya tidak selalu terjadi. Jika anda mengejar bonus, maka target anda belum tentu tercapai. Kecuali anda tidak punya semesta berpikir tentang yang mana target dan yang mana bonus. Alias anda menjadikan bonus sebagai target sejak awal. Mungkin predikat dwi-tunggal juga masih debatable. Tapi pokoknya seperti itu.

Mirip dengan logika yang diajarkan oleh leluhur saya dan mungkin juga leluhur anda-anda. Jika kita menanam padi, maka akan tumbuh padi dan ilalang, tetapi jika kita menanam ilalang, hanya ilalang yang akan tumbuh. Padi seperti target dan Ilalang seperti bonusnya. Tentu masalah jika ada yang tak mampu membedakan antara padi dan ilalang, bukan? Apakah iilalang menguntungkan atau tidak, itu diluar lingkup bahasan kita. Tapi yang pasti target harus lebih berkualitas daripada bonusnya. Klo tidak, ngapain dijadikan target.

Betul. Membangun logika bonus-target mesti dilandasi oleh pemahaman kita yang definitif tentang apa yang menjadi target kita dan apa yang akan menjadi bonusnya. Lebih jauh lagi, bonus-target adalah persoalan ideologi menurut saya. Lain ideologi lain pula targetnya. Seseorang yang Ideologinya, sebut saja A, mengkin saja menjadikan target apa yang hanya dianggap bonus oleh temannya yang ideologinya non-A. Atau kalau ideologi kesannya terlalu berat, sebut saja cara berpikir, atau semesta berpikir, atau apalah. Logika yang saya hendak bangun adalah, persoalan target dan bonus sangat berkorelasi terhadap kedalaman berpikir, keluasan wawasan dan tatanan nilai seseorang.

Ada orang yang ngebet duduk di DPR untuk sekedar punya status sosial yang tinggi. Ada lagi yang memang mau menghibahkan dirinya untuk mewakili konstituennya di parlemen. Ada yang supaya bisa bergaul dengan model orang yang hanya dapat diakses oleh orang yang sekelas DPR. Ada pula yang jelas-jelas menganggapnya sebagai mata pencaharian sambil korupsi kanan-kiri. Sangat banyak model target seseorang menjadi anggota DPR. Itu baru satu kasus, untuk kasus lain boleh ditelaah sendiri.

Tentu dengan mudah kita bisa melacak bahwa cara berpikir, tata nilai dan wawasan seseorang sangat berpengaruh terhadap pilihan-pilihan targetnya. Pilihan target pada gilirannya mempengaruhi tindakan dan sikap-sikapnya di kemudian hari. Seiring perkembangan seseorang dalam berpikir dan berwawasan, target itu juga berubah. Yang sebelumnya menjadi target bisa berubah seketika hanya menjadi bonus, lalu dengan cara berpikir dan wawasan barunya, ia menciptakan apa yang menjadi target barunya. Tatanan nilainya berubah. Atau pada tataran yang lebih radikal, target sebelumnya bahkan menjadi setingkat bonus pun tidak.

Persoalan bonus-target ini dulunya adalah termasuk persoalan yang paling sering muncul, baik dalam diskusi-diskusi formal dengan teman-teman kampus sesama penggiat organisasi, maupun dalam sesi-sesi diskusi jam tiga subuh yang lebih bernuansa interpersonal. Tidak dapat dipungkiri bahwa popularitas di kampus hampir pasti menjadi milik mereka para penggiat organisasi kemahasiswaan. Saya menggunakan istilah penggiat organisasi saja karena masih malu menggunakan istilah aktivis kampus. Nah, di sini saya sering menggunakan logika bonus-target tadi. Pengabdian kepada almamater adalah target, dan apabila karena itu saya terkenal dan dikagumi, maka keterkenalan itu saya anggap saja sebagai bonus-banus perjuangan.

Bonus-bonus perjuangan memang selalu menarik untuk dibicarakan. Eh, target perjuangan bukannya tidak menarik untuk dibicarakan, yang itu bukan soal menarik atau tidak menarik, tapi sudah menjadi default setting, tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi saya tidak akan membahas bonus-bonus perjuangan di sini. Mungkin di artikel lain saja kalau ada kesempatan. ;)

Dalam konteks tantangan, baik target atau bonus adalah sama-sama tantangan. Mencapai target adalah tantangan. Mendapatkan bonus juga tantangan. Memperoleh keduanya adalah aktualisasi. Dan target sebaiknya sesuatu yang menantang. Karena apabila tidak, maka kecendrungan orang akan malas-malas untuk merengkuhnya. Sejatinya manusia kan ingin diakui. Jika seseorang menganggap target tidak lagi menantang karena suatu dan lain hal, tantang saja untuk mendapatkan bonusnya. Secara pragmatis tidak apa-apa, itu dibolehkan.

Dari sini saya lalu teringat satu diksusi dengan seorang teman kuliah. Waktu itu sore, sehingga pas sekali minum kopi sambil menghirup udara kampus yang sejuk lantaran banyak pohon-pohon yang rindang di sekitar situ. Sekali lagi, target kami dari proses diskusi ini adalah kesimpulan, dan bonusnya adalah kami bisa ngopi bareng sore itu.

Teman saya itu sudah malas menyelesaikan kuliahnya. Dengan argumentasi yang sangat meyakinkan dan bagi saya juga cukup logis, dia membenarkan keputusannya untuk tidak melanjutkan studinya sampai sarjana. Ia malas, lebih tepatnya sudah muak dengan sistem pendidikan yang ia temukan. Berkali-kali menghadapi dosen yang menurutnya tidak kompeten dalam memberi penilaian. Mahasiswa yang lebih banyak diam dan mengerjakan tugas sesuai apa yang diyakini dosennya, lebih bagus nilai ujiannya daripada dirinya yang mengaku selalu kritis terhadap teori-teori dosennya. Betul, bagi saya itu juga memuakkan, kawan. Bukankah tingkat pemahaman seseorang akan suatu hal itu bukan dilihat dari pernyataannya tapi dari pertanyaannya?

Banyak hal memuakkan lainnya yang menjadikan ia gerah dengan model belajar mengajar di kampus. Dosen yang subjektif dan cenderung berstandar-ganda, sampai birokrasi yang tidak menghargai lagi independensi dan kreatifitas lembaga mahasiswa. Mahasiswa dipaksa menelan mentah-mentah tidak hanya doktrin ilmu pengetahuan, tapi juga kebijakan birokrasi yang hanya mengedepankan kompetensi profesionalisme dibanding character building mahasiswa dalam rangka membentuk watak dan peradaban bangsa sebagaimana amanat undang-undang pendidikan tinggi (No.12/2012).

Kita sebut saja yang tadi itu faktor internalnya. Faktor eksternalnya, kira-kira teman saya itu merasa sudah cukup skill untuk mencari penghidupan di luar sana. Jadi argumentasi yang ia bangun, bahwa tidak perlu menunggu sarjana dan menunggu lembaran ijazah diterbitkan untuk berkarya bagi bangsa dan negara, ataupun sekedar menjaga agar asap dapur terus mengepul. Bagi saya, gelar dan ijazah sudah tidak ada artinya lagi, katanya. Kalau begini, sudah tidak ada bantahan. Tetap di sini hanya akan membuang waktu dan hanya akan menunda kita untuk lebih cepat berkarya di tengah-tengah masyarakat. Kalau begini saya juga sepakat. Dengan pertimbangan akal, rasional dan intelektual, sekali lagi saya sepakat.

Tapi tunggu dulu, kawan. Karena diskusi terlalu serius, saya coba beranalogi. Tentu kita, yang hidup di jaman teknologi sekarang ini tidak lepas dari yang namanya game. Apalagi kita yang merasa seolah-olah kaum intelektual sudah pasti sangat gemar dengan game strategi semacam Stronghold Crusaders, Age of Empires, Football Manager atau Harvest Moon dan lain sebagainya. Kita juga suka bermain catur atau domino. Sungguh menamatkannya atau memenangkannya adalah sebuah saluran aktualisasi yang menantang. Nikmat karena menantang kecerdasan otak tapi nihil resiko. Bagaimana kalau kita anggap saja kuliah ini adalah game yang harus ditamatkan? Menyelesaikannya adalah tantangan. Eh, kenapa juga harus ditamatkan? Karena kita telah memulainya! Ini tantangan mu, anggap saja dari orang tua mu. Kalau gelar dan ijazah itu nanti tidak berarti, anggap saja bonus bagi orang tua. Saya yakin mereka menyukainya dengan suka cita. Target kita di kampus ini anggap saja sudah tercapai. Tidak ada ruginya, bukan?

Jadi ini hanya soal tantangan, bagaimana? Boleh juga! Hahaha. Kami berdua lalu tertawa dan segera menyelesaikan tegukan kopi terakhir disusul dengan kepulan asap rokok di bibir masing-masing. Bukan hanya itu, studi kami juga selesai dua tahun kemudian.

Ternyata, mendorong seseorang dengan pendekatan rasional argumentatif lebih sulit. Dorongan terbaik adalah tantangan, namun hanya bagi mereka yang mengerti arti keberadaan. Mengerti makna aktualisasi dan penemuan jati diri. Menyelesaikan tantangan adalah soal harga diri. Kira-kira begitu.

Saya lalu teringat lagi tentang sebuah teori motivasi. Bahwa motivasi itu ada dua, Attractive Motivation atau motivasi karena tertarik dan Fear Motivation atau motivasi karena takut. Saya tambahkan saja satu pasal lagi, Challenge Motivation. Aku termotivasi, karena aku tertantang.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun