Ramai sekali sang anak presiden dibicarakan akhir kahir ini. Gibran Rakabuming namanya. Jualan martabak, mengelola café dan menjalankan usaha catering adalah profesinya. Menjadi santer karena antara status dan profesi si Gibran ini sangat kontras bukan kepalang. Anak presiden jualan martabak!
Sekilas nampak tidak ada yang salah. Dan memang tidak salah sebetulnya. Dari beberapa opini yang ada di jagat maya, baik media sosial maupun di kompasiana sendiri, banyak yang memberikan simpati dan pujian. Masyarakat yang terlanjur menyeragamkan penilaiannya terhadap siapa saja yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, menilai bahwa mas Gibran ini sangat lain. Dekat dengan kekuasaan, tapi kok tidak berniat memperkaya diri? Demikianlah kira-kira.
Sudah seperti kewajaran di negeri kita, bahwa kekuasaan hampir pasti mendatangkan kekayaan. Masyarakat nampaknya sudah memaklumi logika ketrergantungan itu. Dengan kata lain masyarakat sudah menerima itu sebagai sebuah aksioma. Makanya, begitu sosok Gibran yang ‘hanya’ menjual martabak muncul, masyarakat seperti menemukan stereotip baru. Masyarakat menemukan contoh figur yang kira kira begini inilah semestinya. Kita tentu dapat memahami, mengapa masyarakat kita begitu bahagia menyaksikan hal yang kontras macam begini. Mungkin ada korelasi terhadap mengapa sinetron-sinetron yang menggambarkan tokoh protagonisnya alim-lemah-miskin sementara tokoh antagonisnya kuat-jahat-kaya, selalu digandrungi dan punya rating yang tinggi. Entahlah!
Satu hal yang membuat cerita soal mas Gibran ini semakin riuh, karena beliau dipadankan dengan anak presiden-presiden sebelumnya. Praktis masyarakat menganggap mas Gibran lebih mulia. Sebabnya karena mas Gibran tidak memanfaatkan posisi bapaknya dalam bisnisnya. Lain dengan anak presiden-presiden kemarin yang sangat jelas terbantu segala sepak terjangnya karena status bapaknya.
Sebetulnya kalau mas Gibran ini mau bisnis apa saja, tidak ada masalah, sah-sah saja. Mencari nafkah yang halal itu sah. Namun jika itu dibesar-besarkan, peroalannya menjadi tidak sederhana lagi. Terlebih lagi jika dianggap sebagai sesuatu yang sangat mulia dan terpuji. Terlalu berlebihan. Sama-sekali tidak ada yang istimewa dari yang demikian. Apabila cerita mas Gibran ini tujuannya adalah untuk mencitrakan bahwa keluarga presiden adalah keluarga yang anti nepotisme, maka ini nampaknya tidak terlalu berhasil. Citra yang muncul ke permukaan malah mas Gibran ini telah berlaku mubazir. Semestinya beliau bisa melakukan yang lebih dari ‘sekedar’ menjual makanan rakyat. Yang begitu itu sudah banyak yang melakukan. Biarkan bisnis yang demikian itu dikerjakan oleh ahli-ahlinya yang memang menggelutinya, mereka yang berjuang dengan tulus mencari nafkah halal untuk keluarganya. Mas Gibran saya pikir jangan menjadi pesaing mereka.
Kembali ke soal mubazir. Sekali lagi tidak perlu membesar-besarkan cerita soal profesi mas Gibran ini. Toh dia bekerja seperti rakyat kebanyakan. Apa hebatnya? Kalau mas Gibran tidak memanfaatkan posisi ayahnya, justru bisa disebut mubazir. Seandainya mau 'dibesar-besarkan', sebaiknya mas Gibran ini memanfaatkan posisi strategisnya untuk berkarya bagi orang banyak. Bukan ‘cuma’ jualan martabak. Lakukanlah sesuatu yang semestinya dilakukan oleh orang yang punya kesempatan luas. Biasa apa saja, misalnya pemberdayaan UMKM, daripada menjadi saingan para pelaku UMKM. Atau misalnya Membangunkan mereka lembaga atau koperasi yang bisa mengakseskan mereka permodalan atau menjamin keberlangsungan pasar mereka. Atau apa sajalah yang cakupan manfaatnya lebih luas. Dengan begitu, posisi strategisnya tidak menjadi sia-sia dan bisa menebar manfaat ke lebih banyak manusia.
Jadi sekali lagi ini bukan soal mencari nafkah zonder nepotisme, tetapi soal mau atau tidak berkarya bagi bangsa pada saat kesempatan sudah ada di depan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H