Mohon tunggu...
Ade Hermawan
Ade Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Ora et Labora

An Ordinary Citizen of Indonesia, civil engineer, social-preneur, youth of the nation.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film Tjokroaminoto dan Babakan Sejarah Kehidupan Sang Guru Bangsa

18 April 2015   11:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Film Guru Bangsa Tjokroaminoto (Sumber : www.premieremagz.com)"][/caption]

Bagi generasi muda Indonesia yang hidup di zaman ini, melihat gambaran bangsa kita era dimana namaindonesia belum lagi dicetuskan, mungkin sama rindunya dengan kerinduan kita melihat foto atau gambaran diri kita pada saat masih di dalam kandungan ibunda.

Apresiasi, pujian dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya untuk seluruh tim kerabat kerja Film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Sungguh sebuah karya yang tidak mudah. Satu lagi film yang mengambil latar sejarah bangsa hadir ditengah-tengah kita. Sedikit membantu untuk memanggil kembali memori kolektif kita sebagai bangsa yang memang sudah mulai meredup dilahap zaman yang serba pragmatis lagi individualis. Apalagi secara khusus, setting yang diambil adalah titik waktu dimana negara indonesia masih berada pada tataran gagasan atau jurnal-jurnal ilmiah, gagasan dari para founding-father-nya. Titik waktu hidupnya dan bergulatnya sang guru bangsa, Hadji Oemar Said Tjokraminoto.

Secara garis besar, paling tidak ada tiga babak yang bagi saya menarik dan sangat bernilai dalam perjalanan hidup ayah dari istri ‘sulung’ Bung Karno tersebut. Yang pertama adalah babak dimana Tjokroaminoto belajar dan membentuk diri. Babak penggemblengan dan penemuan jati diri. Babak membangun kesadaran-kesadarannya. Babak dimana tumbuhnya cinta akan negerinya. Tentu sangat menarik mengupas bagaimana Tjokro yang belajar di sekolah milik belanda, sebegaimana anak-anak bangsawan kebanyakan pada masa itu, justru punya benih-benih pikiran tentang kemerdekaan, persamaan hak, dan cinta tanah air. Tentu menarik menelaah bagaimana kesadaran Tjokro tumbuh dan mengantarkannya pada pemahaman bahwa negerinnya sedang dijajah. Tidak hanya dirampas kekayaan alamnya dengan seenaknya, tetapi juga martabat dan harga diri bangsanya dihinakan sehina-hinanya secara keji. Memang Tjokro juga belajar di pesantren, namun bukankah anak-anak yang lain pada masa itu hampir semua juga belajar di pesantren? Pada kenyataannya, Tjokro lah yang tampil sebagai guru bangsa di kemudian hari. Nah, di babak inilah semestinya pertanyaan tentang bagaimana Tjokro membangun sintesis-sintesisnya dapat dijawab. Pada babak iniliah dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi Tjokro sehingga berbeda dengan anak –anak sepantarannya. Kita sebut saja babak yang pertama ini sebagai Babak Pembentukan Nilai.

Babak yang kedua, adalah babak dimana terjadi konflik dalam batin Tjokro antara dirinya sendiri dengan keluarga dekatnya yang sangat dicintainya pula. Nilai-nilai yang telah terpatri sejati dalam diri Tjokro sejak muda tentu membawa konsekuensinya sendiri. Kesadaran-kesadaran itu membawanya pada satu titik pertentangan di mana Tjokro harus memilih antara terus mengikuti kata hatinya tapi kehilangan keluarganya, atau membawa keluarganya ikut dalam pusaran gelombang organisasi pergerakan. Sungguh keputusan yang sangat sukar. Di sinilah Tjokro diuji keyakinannya, dicoba ketabahannya, ditakar kecintaannya. Singkatnya dalam babak ini, pertanyaan yang akan dijawab adalah bagaimana seorang pemikir besar, seorang yang kelak menjadi guru bangsa, bisa mendamaikan konflik antara tanggung jawab sebagai pemimpin dan pembebas bangsa, sebagai ratu adil, dengan tanggung-jawabnya sebagai kepala keluarga yang juga mesti mencukupkan nafkah dan memberi rasa aman kepada keluarganya. Sungguh kondisi yang sebegitu dilematisnya. Niscaya banyak yang tidak lulus dengan ujian semacam ini. Kita sebut saja babak yang kedua ini sebagai Babak Ujian.

Dan babak yang ketiga, sekaligus babak yang paling menarik, adalah babak yang menggambarkan aksi dan sepak terjang Tjokro dalam memimpin Sarekat Islam (SI) dan juga aktifitasnya sebagai guru, khususnya relasi Tjokro dengan murid-muridnya yang kelak juga memainkan peran yang tak kalah penting dalam kelanjutan sejarah Indonesia. Mereka diantaranya Semaun, Muso, Soekarno bahkan Kartosuwiryo. Cara berpikir dan idealisme Tjokro tentu bisa dilihat melalui bagaimana beliau secara piawai memimpin dan membangun SI menjadi organisasi yang besar dengan anggota yang jumlahnya ribuan dan sangat disegani kala itu. Tjokro sangat ahli berorganisasi dan berpidato. Tjokro juga pernah menulis buku tentang Islam dan Sosialisme yang mengupas tentang kongruennya Agama Islam dengan Paham Sosialisme. Inilah unsur yang saya pikir sangat menarik untuk dikupas secara mendalam, yaitu pikiran-pikiran Tjokro. Bila dikupas dengan seksama, tentunyan akan dapat mengobati kerinduan kita akan nilai-nilai dan ide-ide masa itu. Ide dan gagasan yang ikut meratakan dan melapangkan jalannya negeri ini menuju kemerdekaan.

Lalu hal lain yang tak kalah menariknya dalam babak ini, yaitu relasi antara Tjokro dan murid-muridnya. Entah kebetulan atau tidak, murid-muridnya itu di kemudian hari memainkan peran yang sangat penting dalam perjalanan politik bangsa Indonesia. Di sinilah sejatinya Tjokro bisa disebut sebagai guru bangsa. Tjokro tidak hanya berhasil mentransfer nilai-nilainya pada Kusno (Soekarno), Muso, Semaun, atau Kartosuwiryo, bahkan lebih jauh, dengan bekal dari ajaran tersebut, murid-muridnya itu pada gilirannya juga berhasil membangun tata nilai dan pahaman mereka sendiri. Pahaman yang nantinya membawa murid-murid itu kedalam konflik ideologi yang mewarnai sejarah Indonesia pasca kemerdekaan.

Namun, di sinilah ironi hidup Tjokro sebagai guru bangsa itu tergambar dengan jelas. Ironi yang menarik dan mengharukan. Dari anak-anak muda yang pada awalnya balajar dan berjuang dalam satu payung di bawah Sarekat Islam yang dipimpin oleh Tjokro, murid-murid muda itu kemudian terpecah dan saling bertarung dengan membawa panji ideologi masing-masing. Soekarno tampil dengan Nasionalisme-nya yang memproklamirkan negara Indonesia, Muso dan Semaun maju dengan Komunisme-nya dan mendirikan Partai Komunis Indonesia, Kartosuwiryo bergerak dengan Islamisme dan menciptakan Negara Islam Indonesia. Mungkin saja Tjokro bakal menangis seandainya saja ia melihat akhir dari pertarungan murid-muridnya itu.

Kita sebut saja babak yang terakhir ini sebagai Babak Ironi sang Guru Bangsa.

Demikian lah babakan kehidupan Tjokro yang menurut saya paling menarik untuk diekspos ke kahalayak. Babakan yang penuh pembelajaran dan inspirasi. Babakan yang ironi lagi mengharukan. Babakan yang mempengaruhi perjalanan bangsa kita di kemudian hari. Babakan yang harapannya bisa menggali memori kolektif kita lagi, sebagai bangsa yang satu. Babakan yang sayangnya tidak muncul dalam Film Guru Bangsa Tjokroaminoto yang saya nonton dua malam yang lalu. Muncul, tapi kurang mendalam jika dilihat dalam konteks kehidupan seorang dengan julukan Guru Bangsa, Raja Tanpa Mahkota. Tidak ada konflik pemikiran, atau pertarungan gagasan yang betul-betul argumentatif dan dialektis ala zaman pergerakan, hanya sekedar cerita. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dalam film Garin Nugroho tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang sejatinya menjadi kunci perjalan hidup sang guru bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun