Mohon tunggu...
Ade Hermawan
Ade Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Ora et Labora

An Ordinary Citizen of Indonesia, civil engineer, social-preneur, youth of the nation.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Minim Kompetensi

24 Maret 2014   16:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wahat is democracy? (sumber : http://kliklead.wordpress.com/2011/02/26/hdac-kagum-dengan-demokrasi-indonesia/)

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="wahat is democracy? (sumber : http://kliklead.wordpress.com/2011/02/26/hdac-kagum-dengan-demokrasi-indonesia/)"][/caption]

Demokrasi, yang merupakan bentuk pemerintahan yang menggairahkan, penuh dengan variasi dan kekacauan, dan hasratnya yang tak bisa dikenyangkan bisa membawa pada kehancuran. Demikianlah Socrates telah sejak lama mengingatkan kita. Bahwa demokrasi bukannya tanpa aturan, ia juga mesti didirikan di atas pilar-pilar prinsip yang berdiri teguh. Tanpa prinsip, maka alam demokrasi tak ubahnya hutan dimana dianut hukum rimba yang hanya akan memancing ekspresi kebinatangan para penghuninya. Mungkin gambaran hukum rimba itu yang coba diungkap oleh si Plautus, Homo Homini Lupus. Man is a wolf to [his fellow] man.

***

HAL yang sangat penting dalam demokrasi adalah kultur politik-demokrasi itu sendiri. Mengapa kultur penting? Jelas, karena struktur saja tidak cukup. Layaknya manusia unggul yang mesti kuat raga juga sehat jiwanya, maka demokrasi yang baik adalah demokrasi yang kuat secara struktural dan sehat secara kultural. Jika sturuktur (=sistem) politik-demokrasi kita merujuk pada ketiga lembaga negara yang merupakan manifestasi trias politica — DPR, Pemerintah dan MA — maka yang menjadi kulturnya adalah berupa prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip inilah yang akan memberi sentuhan kemanusiaan pada alam demokrasi kita.

Satu hal yang prinsipil dalam membangun kultur demokrasi adalah kompetensi. Demokrasi mesti dijalankan dengan kompetensi. Struktur politik mesti ditopang oleh kompetensi. Kompetensi itu menyangkut kecakapan orang-orang (personal competence) yang melakoni bermacam peran politik di alam (=sistem) demokrasi di Indonesia ini. Kompetensi paling tidak berbicara pada dua tingkatan, tingkatan pertama adalah berbicara tentang kompetensi para elit politik, dan tingkatan yang lain berbicara tentang kompetensi masyarakat. John Locke, tokoh Empirisme Inggris, mengemukakan bahwa semua pemerintahan harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Itulah mengapa masyarakat dalam alam demokrasi juga perlu memiliki personal competence.

Kompetensi Elit

[caption id="" align="alignnone" width="539" caption="(sumber : http://manajemenproyekindonesia.com/?p=857)"]

(sumber : http://manajemenproyekindonesia.com/?p=857)
(sumber : http://manajemenproyekindonesia.com/?p=857)
[/caption] Tanpa mengurangi rasa hormat pada elit-elit politik kita, harus diakui bahwa kenyataan dewasa ini membawa kita pada satu kesimpulan bahwa mereka yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan politik-pemerintahan masih jauh dari kompetensi ideal. Pernah ada seorang anggota legislatif di tingkat daerah yang ternyata ‘kurang cakap’ dalam mengetuk palu sidang, belum lagi apabila beliau menjalankan fungsi moderasinya. Boleh jadi kasus tersebut tidak terjadi di satu daerah saja. Pertanyaan lebih lanjut, seberapa banyak kah para wakil rakyat baik di tingkat daerah maupun pusat yang paham akan filsafat, teori-teori ketata-negaraan, berwawasan keindonesiaan, mengerti konstitusi atau konstalasi serta kompetensi-kompetensi elit lainnya? Seberapa banyak dari mereka yang paham etika profesi sebagai elit? Kita lihat sendiri bahwa mereka yang menjadi elit sekarang ini sebagian besar bahkan tidak pernah memperkenalkan diri mereka dengan pendekatan intelektual, melainkan pendekatan popularitas. Itulah salah satu sebab para artis dangdut atau artis komedi punya cukup rasa percaya diri untuk mengisi lembaga legislatif. Tren ini lalu diikuti oleh yang lain, membangun popularitas dan rasa simpati melalui pencitraan, sandiwara dan foto-foto besar di pinggir jalan. Hampir tanpa kompetensi, keterkenalan bahkan rasa simpati sudah cukup mendudukkan mereka menjadi elit yang tugasnya sungguh sangat tidak mudah: membuat undang-undang.

Kompetensi, track record prestasi ataupun integritas seolah menjadi prioritas kesekian dalam menyaring siapa yang boleh duduk di jajaran elit politik. Contoh paling baru yakni seleksi Hakim Konstitusi yang dinilai asal-asalan, berlangsung sembrono dan tergesa-gesa oleh banyak pihak. Di lain tempat, ada lagi yang berteriak lantang : pemuda minim pengalaman, karena pemuda tidak menawarkan masa lalu, ia menawarkan masa depan. Pertanyaannya, apakah pemuda itu kompeten menjalankan fungsi-fungsinya sebagai elite politik, terlepas yang ditawarkan adalah masa lalu atau masa depan?

Partai politik lagi-lagi menjadi pihak yang paling bertanggungjawab, karena mereka lah yang solo career menjalankan peran menyaring elit-elit politik itu.

Kompetensi Masyarakat

Namun waktu telah memberi jawabannya, bahwa ‘popularitas’ telah mengkudeta posisi ‘kompetensi’. Hal ini tentunya tidak terlepas dari tingkatan kompetensi yang kedua: kompetensi masyarakat. Masyarakat jugalah yang secara tidak langsung ‘mengizinkan’ hal itu terjadi. Pasalnya masyarakat kita adalah masyarakat yang (maaf) masih minim dari segi kompetensi politik. Masyarakat yang kompeten dalam berdemokrasi adalah masyarakat yang memiliki pengetahun kognitif dan afektif yang cukup tentang politik, dan memiliki orientasi politik sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja politik sebuah lembaga ataupun elit politik. Pun terdengar sedikit utopis, tingkat kesadaran masyarakat kita masih jauh dari tingkatan masyarakat negara-demokratis seperti yang diteorikan oleh John Locke: masyarakat yang rela kebebasannya ditukar dengan keamanan yang diberikan oleh negara, masyarakat yang berani mengambil kembali kekuasaannya apabila elit yang dipercayakan menjalankan kekuasaan itu gagal.

Kekosongan kompetensi tersebut lalu membentuk lingkaran setan yang sulit diputus. Elit yang tidak kompeten tentu sulit membangun pendidikan politik buat masyarakatnya. Masyarakat yang tidak terdidik secara politik akan lebih sulit lagi melakukan evaluasi terhadap lembaga politik. Lembaga dan elit politik yang tidak dievaluasi oleh masyarakatnya akan menjadi elit yang cenderung tidak baik dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya. Dan begitu seterusnya, sangat menghawatirkan.

Dalam hati kecil, kita lalu merindukan munculnya sosok pemimpin yang gagah dan kuat yang dengan kekuatan tinjunya mampu menggunting-putus lingkaran setan itu. Semoga ada!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun