[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="wahat is democracy? (sumber : http://kliklead.wordpress.com/2011/02/26/hdac-kagum-dengan-demokrasi-indonesia/)"][/caption]
Demokrasi, yang merupakan bentuk pemerintahan yang menggairahkan, penuh dengan variasi dan kekacauan, dan hasratnya yang tak bisa dikenyangkan bisa membawa pada kehancuran. Demikianlah Socrates telah sejak lama mengingatkan kita. Bahwa demokrasi bukannya tanpa aturan, ia juga mesti didirikan di atas pilar-pilar prinsip yang berdiri teguh. Tanpa prinsip, maka alam demokrasi tak ubahnya hutan dimana dianut hukum rimba yang hanya akan memancing ekspresi kebinatangan para penghuninya. Mungkin gambaran hukum rimba itu yang coba diungkap oleh si Plautus, Homo Homini Lupus. Man is a wolf to [his fellow] man.
***
HAL yang sangat penting dalam demokrasi adalah kultur politik-demokrasi itu sendiri. Mengapa kultur penting? Jelas, karena struktur saja tidak cukup. Layaknya manusia unggul yang mesti kuat raga juga sehat jiwanya, maka demokrasi yang baik adalah demokrasi yang kuat secara struktural dan sehat secara kultural. Jika sturuktur (=sistem) politik-demokrasi kita merujuk pada ketiga lembaga negara yang merupakan manifestasi trias politica — DPR, Pemerintah dan MA — maka yang menjadi kulturnya adalah berupa prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip inilah yang akan memberi sentuhan kemanusiaan pada alam demokrasi kita.
Satu hal yang prinsipil dalam membangun kultur demokrasi adalah kompetensi. Demokrasi mesti dijalankan dengan kompetensi. Struktur politik mesti ditopang oleh kompetensi. Kompetensi itu menyangkut kecakapan orang-orang (personal competence) yang melakoni bermacam peran politik di alam (=sistem) demokrasi di Indonesia ini. Kompetensi paling tidak berbicara pada dua tingkatan, tingkatan pertama adalah berbicara tentang kompetensi para elit politik, dan tingkatan yang lain berbicara tentang kompetensi masyarakat. John Locke, tokoh Empirisme Inggris, mengemukakan bahwa semua pemerintahan harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Itulah mengapa masyarakat dalam alam demokrasi juga perlu memiliki personal competence.
Kompetensi Elit
[caption id="" align="alignnone" width="539" caption="(sumber : http://manajemenproyekindonesia.com/?p=857)"]
Kompetensi, track record prestasi ataupun integritas seolah menjadi prioritas kesekian dalam menyaring siapa yang boleh duduk di jajaran elit politik. Contoh paling baru yakni seleksi Hakim Konstitusi yang dinilai asal-asalan, berlangsung sembrono dan tergesa-gesa oleh banyak pihak. Di lain tempat, ada lagi yang berteriak lantang : pemuda minim pengalaman, karena pemuda tidak menawarkan masa lalu, ia menawarkan masa depan. Pertanyaannya, apakah pemuda itu kompeten menjalankan fungsi-fungsinya sebagai elite politik, terlepas yang ditawarkan adalah masa lalu atau masa depan?
Partai politik lagi-lagi menjadi pihak yang paling bertanggungjawab, karena mereka lah yang solo career menjalankan peran menyaring elit-elit politik itu.
Kompetensi Masyarakat
Namun waktu telah memberi jawabannya, bahwa ‘popularitas’ telah mengkudeta posisi ‘kompetensi’. Hal ini tentunya tidak terlepas dari tingkatan kompetensi yang kedua: kompetensi masyarakat. Masyarakat jugalah yang secara tidak langsung ‘mengizinkan’ hal itu terjadi. Pasalnya masyarakat kita adalah masyarakat yang (maaf) masih minim dari segi kompetensi politik. Masyarakat yang kompeten dalam berdemokrasi adalah masyarakat yang memiliki pengetahun kognitif dan afektif yang cukup tentang politik, dan memiliki orientasi politik sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja politik sebuah lembaga ataupun elit politik. Pun terdengar sedikit utopis, tingkat kesadaran masyarakat kita masih jauh dari tingkatan masyarakat negara-demokratis seperti yang diteorikan oleh John Locke: masyarakat yang rela kebebasannya ditukar dengan keamanan yang diberikan oleh negara, masyarakat yang berani mengambil kembali kekuasaannya apabila elit yang dipercayakan menjalankan kekuasaan itu gagal.
Kekosongan kompetensi tersebut lalu membentuk lingkaran setan yang sulit diputus. Elit yang tidak kompeten tentu sulit membangun pendidikan politik buat masyarakatnya. Masyarakat yang tidak terdidik secara politik akan lebih sulit lagi melakukan evaluasi terhadap lembaga politik. Lembaga dan elit politik yang tidak dievaluasi oleh masyarakatnya akan menjadi elit yang cenderung tidak baik dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya. Dan begitu seterusnya, sangat menghawatirkan.
Dalam hati kecil, kita lalu merindukan munculnya sosok pemimpin yang gagah dan kuat yang dengan kekuatan tinjunya mampu menggunting-putus lingkaran setan itu. Semoga ada!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H