Indonesia ini adalah negeri yang singkat. Tapi yang dimaksud di sini tentu bukan dari segi usia melainkan kebiasaan. Orang–orang indonesia ini terkenal sebagai orang-orang yang gemar menyingkat apa saja. Mulai dari nama orang, nama jalan, nama tempat, nama propinsi, istilah dan masih banyak lagi. Hampir semua punya singkatan.
Kalau di luar negeri sana, aturan membuat singkatan sangat kaku. Hanya boleh mengambil huruf depan dari kata-kata yang diakronimkan. Misalnya JFK untuk John Fitzgerald Kennedy, atau FIGC untuk Federazione Italiana Giuco Calcio, atau AIDS untuk Acquired Immune Deficiency Syndrome. Radar untuk Radio Detection and Ranging mungkin sebuah perkecualian. Namun di Indonesia lain cerita. Singkatan bukan hanya persoalan menghemat ruang, tapi cita rasa berbahasa. Mungkin hanya di Indonesia kita bisa menemukan sebuah akronim bisa menjadi sebuah kata baru yang sama sekali lain dari frase yang membentuknya. Singkatan-singkatan ini memberi khasanah tersendiri dalam tradisi berbahasa hampir di sepanjang wilayah nusantara.
Kita mulai dari nama daerah/jalan/tempat. Yang paling umum dan sudah sangat dikenal misalnya ada Gatsoe untuk Jalan Gatot Soebroto, Soeta untuk semua tempat yang dinamakan Soekarno-Hatta, Citos untuk Cilandak Town Square dan masih banyak lagi. Kita ke dunia pendidikan, mulai dari jenjang SMU, ada SMANSA untuk SMA Neg. 1, SMADA (SMA Neg 2), SMAGA dan seterusnya. Lulus dari SMU, masuk ke jenjang universitas, ketemu UNPAD (Universitas Padjajaran), UDAYANA, UNHAS, UNTAR, UNCOK, dan UN-UN lainnya.
Itu yang serius. Ada juga yang bersifat tidak serius alias lucu-lucuan. Sebut saja KIJANG SUPER (Lelaki Jangkung Sungguh Perkasa), SLANK (Sudah Lama Aku Naksir Kamu), KOPAJA (Kost Para Janda), CABE (Cewek Alim Berhati Emas), PETRUS (Penembak Misterius) atau SAKAW (Sakit Karena Engkaw). Haha.
Tentu kita semua ingat, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada pilpres –lagi-lagi singkatan dari pemilihan presiden– tahun 2004 lalu tidak terlepas dari kecerdikan beliau melakukan pendekatan yang sangat indonesianis kepada calon pemilih. Beliau memperkenalkan namanya dan pasangannya dengan singkatan SBY-JK. Kalau tidak salah ingat, sejak saat itu ide brilian pasangan tersebut kemudian diadaptasi oleh politisi-politisi lain. Maka kita lalu mengenal ada ARB, LHI, SYL, dan lain sebagainya.
Kita belum masuk ke ranah kuliner. Pasti semua sudah kenal BATAGOR (Baso Tahu Goreng), COMRO (Oncom Dijero), CIRENG (Aci Goreng), NASGOR, PISGOR dan lain sebagainya. Ada yang mau menambahkan?
Jauh kebelakang, baik di era orde baru maupun era sebelumnya, singkatan sudah menjadi darah daging tidak hanya dalam tradisi berbahasa kita sehari-hari, akan tetapi menjadi bagian dari konsep pemikiran atau konsep kebijakan pemerintah. Sebut saja GOLKAR, REPELITA, PARPOL, DWIKORA, TRITURA, GESTAPU dan yang lainnya. Belum lagi istilah-istilah dalam organisasi pemerintah, baik Sipil maupun Militer, semisal KOSTRAD, PANGDAM, AURI, KOMJEN, MENKOKESRA, MENKOPOLKAM dan lainnya. Tak ketinggalan, yang paling terkenal tentu saja MONAS (Monumen Nasional) dan konsep legendaris NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis). Konon, Soekarno yang juga seorang pemikir, terkenal sangat gandrung dan kreatif menciptakan singkatan-singkatan.
Jika ditarik lebih ke belakang lagi, kita lalu bertemu dengan sosok Tan Malaka. Setahu saya beliau yang memperkenalkan metode Jembatan Keledai (mohon dikoreksi jika keliru). Metode Jembatan Keledai ini adalah metode menghapalkan sebuah frase melalu singkatan. Barangkali di sinilah titik awal dimana singkatan menjadi tradisi berpikir dan berbahasa dalam konteks ilmiah di Indonesia. Nama ‘Indonesia’ sendiri merupakan gabungan/akronim dari dua kata, bukan?. Dari Tan Malaka lahir kemudian MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika) dan GERPOLEK (Gerakan Politik Ekonomi). Metode Jembatan Keledai ini masih kita pakai sampai hari ini pada saat menghapalkan urutan warna pelangi MEJIKUHIBINIU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu). Jembatan keledai ini juga yang kita pakai untuk menghapalkan urutan tabel unsur-unsur kimia. Masih ada yang ingat apa itu BELI-MANGGA-CAMPUR-SIRUP-BAGI-RATA?
Artinya, singkatan di Indonesia mempunyai peranan yang lebih dari sekedar penghematan, melainkan menjadi salah satu metode belajar, dalam hal ini, bagaimana mengingat hal-hal atau konsep yang dianggap penting dengan sangat mudah. Tan Malaka sadar, bahwa di Nusantara, sejak dulu tradisi lisan lebih jauh berkembang dari pada tradisi tulis menulis.
Saya jadi ingat pada suatu malam, kakek saya yang berasal dari daerah pedalaman Sulawesi Selatan sana dan sudah cukup tua, pernah menceritakan silsilah keluarga hingga 7 generasi keatas hanya dengan menggunakan batang-batang lidi, dimana sebatang lidi mewakili satu generasi. Tanpa selembar lontara' pun.
Sekali lagi, di Indonesia singkatan bukan hanya soal keterbatasan ruang untuk menulis, ini masalah cita rasa dan sebuah kearifan yang unik lagi tak ada duanya.
Hidup Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H