Semasa ini, kutuliskan kisah dari kemasaman nurani. Agar ketika jasadku disebut mati, bunga yang ramah kupetik masihlah mekar mewangi-- Agar ketika jiwaku dilupa bumi, nama yang entah ku-kata teruslah hidup berpuisi.
Seutuh wajah keabadian malam, di setiap hari, kupandangi ladang di ruang ingatan. Nampak paras senyummu, jelas melambaikan asa-asa. Walau tak sedikit mereka yang mengaku manusia berkata : tak mungkin ada nyala bahagia di ujung sana-- atau, hanyalah redup sinaran lentera esok dalam airmata.
Teruntukmu, nama yang entah ku-kata. Di kematangan rahsamu, senjanya tak urung meneduhkan, langitnya menyerupa pelita kemenangan, udarapun mengalir penuh kemanfaatan, hingga tak mudah birunya garis bibirku sanggup memaafkan-- dan adalah sajak-sajak sunyiku yang kelak di-sejarahkan.
Di batas sebelum petang menyapa gerak napas ini, hangatku seakan menyublim tipis, menggambar gemawan yang kian sinis-- mengeja sepucuk surat dari kebenaran takdir bersamamu, mengubah mimpi jadi batu-- merayakan kesedihan yang penciptanya tak lain : aku.
Jakarta, 16062017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H