Tertinggalkan jejak autumn biru sejuk
serta ayunan debu nista yang lembut dipeluk
tatkala seranting Akasia tertunduk
menyesap sisa aroma senja
dengan sederhana kata liturgi jiwa
lelah gerah duniawi digenggamnya
isak tangis sesal disenyumnya
Sejenak kebisuan suasana menyapa
memanggil nama bulan selanjutnya
dan terdengar lirih suara rahsa
'Betapa layunya hidupku'
walau jauh di udara berteriak kebenaran
pun gendang telingaku bisu
bisu semata pasrah menerima
menerima senyawa takdirnya
yang menelusup ke arah lipatan jantung
jantung merah memudar berdetak
detak mengosongkan paradigma tangis berkerak.
Akasia
Oktober telah berjalan seadanya
tetap seperti adanya
menyerupa teguran belas-kasih Tuhan
menyentuhmu
menyertaimu
walau serantingmu kering patah
dipeluk kebijakan debu-debu nista
walau mentari esok enggan menerima, rintihmu doa.
Dari sekelebat pandang serakah manusia
dari setumpuk peristiwa yang tergambar hina
Akasia bertaruh dalam fakta ;
patutkah memperdagangkan segala ingin pikiranku?
Semusim autumn biru, dan seutuhku layu
dengan menerjemah harakat ayat-ayat wujud-Mu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H