Di arah keremangan wajah penghujung hari
di bawah rindang sepohon Kasturi
panggilku dengan lirih suara manja, namamu--
namamu, oh Yuwati(ku)
penebar wewangian bunga asmaralaya di dalam kalbu.
Â
Engkau, Yuwati(ku) ; pemilik pekarangan filantropi di hidup(ku)
mungkinkah engkau mendengar?
tentang nyanyian gelebah yang dibawa angin--
dan diterbangkan menuju jendela kamarmu?
Â
Katakanlah kepada bencil ambuwaha yang mengharap hujan
sematkanlah debaran gema rahsamu kepada alam
walau sinar mentari pucat bertaruh terang
walau jingga-jingga gemawan enggan beranjak datang.
Â
Terkasih
ada semburat pelangi yang tertanam di cermin senja lamunan(ku)
ada senyum termanismu di dalam mata(ku)
menghenti detak detik keramaian waktu
menyiksa serangkaian peristiwa pada pandangan(ku).
Â
Masih... di tanah resah, remang wajah penghujung hari
di bawah rindang sepohon Kasturi.
Â
Engkau, Yuwati(ku) ; pelukis rahsa hidup separuh nyawaku
sampai kapan geliat bayanganmu mesra bercengkrama dengan jari-jari hayal(ku)?
Â
Kau ajakku bermain diksi rahsa di ruang imajinasi---
imajinasi yang mencipta seni filantropi--
filantropi dari sebentuk arwah kalam pujangga sederhana--
se-sederhana pesona secangkir kopi yang disentuh lembut oleh bibir-bibir pengagum filosofi atas puisi.
Â
Jakarta 18102016
Alpaprana
Â
Catatan Kaki :
Yuwati (Sansekerta) ; Gadis
Asmaralaya (Sansekerta) ; Surga
Ambuwaha (Sansekerta) ; Mendung
Bencil (Sansekerta) ; Palsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H