Gerimis berhamburan di sini
di antara bekas jari-jari puisi
dan bisik rindu yang tiada letih
mengusik sederetan aksaraku
dari kelembutan warna tinta
di lusuhnya selembar kertas buku
Â
Aku mengerti
cinta yang seharusnya mekar nyata
hanya menjadi sketsa pada langit malam
dengan membentuk garis samar
menempatkan keadilan takdir dalam berbagai pertanyaan
sebelum pagi menenggelamkan impian
Â
Sekelebat mata, bayang ketakutanku menyapa jauh di jiwa
akupun menghirup beku enigma
lalu bergegas melipat buku yang penuh tulisan
meletaknya pada imajinasi
berharap malam esok,
di mana nalarku bersandar ketenangan
akan kubuka lagi kelanjutan sketsa asmara
dan mengendapkan segala kesedihan
tanpa diketahui oleh arti kehilangan
Â
di kesenyapan bait ini
gerimis masih saja berjatuhan
mengemas kesucian cinta
yang utuh tertanam dalam puisi
bersama malam
di kemudian waktu
sepenuh abstrak ilusiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H