Sekolah Politik Kerakyatan Partai Amanat Nasional (SPK PAN) lahir dari rahim semangat memperbaiki keadaan negeri yang Sumber Daya Manusia-nya serba kekurangan yang berimplikasi terhadap lambatnya pembangunan politik menuju arah kematangan. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal (wasekjen) Bidang Perkaderan DPP PAN, Arif Musthafa Al-Buny, dalam kuliah perdana SPK PAN (Sabtu, 31/10/15) mengungkapkan bahwa “kewajiban mencerdaskan masyarakat dalam bidang politik ada di pundak partai. Seharusnya, seluruh partai politik harus memiliki sekolah politik untuk masyarakat, pemuda, dan mahasiswa. PAN sudah meluncurkan, karena dari awal kami selalu memiliki keinginan kemakmuran, mensejahterakan rakyat.”
Kecerdasan politik yang dimaksud tentunya tidak hanya berkutat pada tataran intelektual saja melalui ungkpan ataupun tulisan, melainkan juga cerdas pada tataran behavioral (berperilaku) dalam kehidupan sehari-hari.
Regenerasi yang dijalankan oleh partai politik pada umumnya masih belum efektif dalam mewujudkan keadilan sosial yang diharapkan. Hal ini terjadi karena tipologi pendidikan politik yang diterapkan cenderung pragmatis bahkan justru menodai kemuliaan cita-cita politik.
Lalu, apakah institusionalisasi pendidikan politik dalam partai dapat menjamin keberadaban dalam berpolitik serta mampu mewujudkan keadilan dalam suatu bangsa? Pertanyaan ini akan mampu terjawab dari sejauh mana unsur-unsur sistem pendidikan yang digunakan itu baik, serta dibuktikan dengan output yang dihasilkannya berpengaruh terhadap perbaikan sosial yang signifikan.
Sejauh ini, nampaknya Partai Amanat Nasional perlu berbangga hati memiliki Sekolah Politik kendati dalam usianya yang masih sangat belia. Hal ini dibuktikan dengan partisipasi dan sikap pro-aktif para siswanya dalam mengikuti rangkaian kegiatan yang ada di SPK PAN.
Dalam hal kedisiplinan waktu misalnya, pada saat agenda Outing dilaksanakan, para siswa SPK PAN dibagi menjadi beberapa kelompok lalu diberikan tugas simulasi menulis berita untuk media massa. Dalam kesempatan tersebut, salah satu kelompok dari siswa memanfaatkan momentum ini untuk mengkritik keterlambatan waktu yang acap kali terjadi dalam pelaksanaan kegiatan siswa. Dalam isi tajuk berita yang disampaikan, mereka mengatakan bahwa jangan jadikan “jam karet” sebagai kiblat waktu pelaksanaan setiap kegiatan SPK PAN. Sebab, hal tersebut akan mengorbankan mereka yang senantiasa konsisten untuk tepat waktu.
Ungkapan yang menyatakan “toleransi untuk mereka yang terlambat merupakan sebuah hukuman bagi mereka yang tepat waktu”, adalah suatu ketidakadilan bagi “Ubi Societas Ibi Justicia”, ketidakadilan hukum dimana tempatnya berada. Dan sudah barang tentu dalam membangun tradisi kedisiplinan siswa, khususnya dalam permasalahan waktu, seluruh elemen sekolah harus bersikap tegas dalam menyikapinya. Hal ini tidak hanya dittik-tekankan kepada para pengelola sekolahnya saja.
Akan tetapi, siswa sebagai kader partai politik yang menyadari akan pentingnya pengorbanan dalam setiap perjuangan, juga harus berkomitmen penuh untuk hadir dalam setiap kegiatan SPK PAN dengan waktu yang tepat dengan konsekuensi yang telah dpertimbangkan. Sehingga, keterlambatannya tidak mengganggu jalannya kegiatan siswa yang lain.
Sejatinya, perubahan harus berangkat dari hal-hal terkecil dalam berbagai aspek kehidupan. Sikap indisipliner akan membentuk kepribadian yang serba pragmatis baik dari segi mental pemikiran terlebih lagi tindakan. Dan diharapkan hal ini tidak hadir menjadi kultur dalam Sekolah Politik Kerakyatan PAN yang notabene-nya memiliki proyeksi untuk mencetak generasi emas bagi Partai Amanat Nasional kedepan. Sebab, hadirnya sekolah ini tidak lain adalah untuk memajukan negara-bangsa ini dari ketertinggalan peradaban, untuk memperbaiki moralitas kemanusiaan yang penuh stigma keserakahan. (Ryn)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H