Entah perasaan apa yang harus saya ungkapkan saat membaca artikel di suatu media, anak presiden negeri ini bisnis pisang goreng dan langsung booming dengan cepat membuka gerai-gerai baru di beberapa kota besar.
Bagi sebagian orang mungkin perasaan yang muncul adalah kagum: anak presiden saja mau dagang pisang goreng. Atau bagi sebagian orang lagi, mungkin tidak peduli mau apapun yang dia lakukan.
Bagi saya ini tidak lebih dari sebuah "lelucon" yang paling tidak lucu. Saya tidak bicara tentang politik, saya tidak sedang bicara suka atau tidak suka sama presiden, tapi saya bicara sebagai tukang pisang goreng.
Saya merintis usaha pisang goreng dari tahun 1987 dengan almarhumah ibu saya. Selama 31 tahun kami berjuang dari nol bahkan dari minus. Modal awal berasal dari pinjaman seorang tetangga. Pahit getirnya merinitis usaha dengan modal pas-pasan, serta hasil dari dagangan sudah ditunggu oleh kebutuhan keluarga, menjadi cambuk yang melecut kami untuk terus berjuang membangun usaha kecil kami.
Selama 5 tahun pertama merintis usaha boleh dibilang adalah masa berdarah-darah untuk saya dan ibu saya waktu itu. Sudah tidak terhitung kegagalan yang kami alami. Setiap hari selalu harus putar otak memikirkan dari mana lagi kami mendapatkan modal karena hasil dagang kemarin terpaksa dipakai untuk baiaya hidup keluarga.
Lalu pada 5 tahun kedua kami mulai merasakan peningkatan usaha yang cukup bagus. Konsumen makin bertambah, toko-toko yang kami titipkan produk kami juga makin bertambah.
Bahkan kami mulai dipercaya oleh beberapa bank yang menawarkan kredit untuk modal walaupun pada akhirnya tidak dapat kami manfaatkan tawaran itu karena tidak punya jaminan. Begitu pun orang-orang yang mempunyai uang banyak yang bertujuan investasi. Karena merasa usaha kami sedang baik, kami ambil tawaran modal dari perorangan tersebut walaupun bunganya mencekik leher.
Petaka datang di tahun 1988. Badai krisis berimbas pada usaha kami. Kewajiban pembayaran utang kepada perorangan macet, bunga-berbunga, semakin menggunung. LIlitan hutang rentenir benar-benar sudah mencekik leher kami bahkan mengisap darah kami.
Dalam keadaan perusahaan yang sudah mulai karam, kami terus mencoba bertahan. Bukan karena kami kuat, melainkan karena itulah satu-satunya jalan hidup kami: dagang pisang goreng.
Sedikit demi sedikit badai itu bisa kami lalui. Alhamdulillah usaha kami sampai saat ini masih berdiri walaupun kami masih harus bergelut dengan utang-utang kami kepada rentenir.
Pahit getirnya membangun usaha kami tidak akan dirasakan oleh brand "Sang Pisang" yang begitu booming saat ini.