Transformasi tak ubahnya menempuh hidup baru. Kecepatan, ketepatan dan kepemimpinan menjadi kuncinya.
Oleh : Teguh S. Pambudi.
RISET: M. RIZKI.
Ada yang berbeda di ajang Consumer Electronic Show (CES)2015. Diajang bergengsi yang dihelat di Las Vegas Amerika Serikat pada 6-9 januari 2015 itu, di antara pemain-pemain besar smartphone yang sudah rutin wara-wiri di ajang ini, terselip produsen kamera legendaris, Kodak. Mau apa dia?
Seperti halnya pemain ponsel yang sudah lebih senior, kali ini Kodak bukan bermaksud menjual kamera. Takbeda dengan pemain ponsel pintar lainnya, ia meluncurkan produk sejenis berbasis Android. Diberi merek Kodak IM5, ponsel pintar berbasis Android ini ditujukan untuk kalangan menengah.
Sepertinya ini kisah yang biasa. Maklum, CES memang menjadi tempat para produsen memamerkan produk-produk teranyarnya, termasuk ponsel pintar. Narnun, khusus Kodak IM5, peluncuran ini membuat satu cerita tersendiri, dan mengirim sinyal ke seantero bumi: Kodak belum mati. Atau lebih tepatnya: Kodak tengah bertransformasi menuju hidupnya yang baru.
Ya,dibalik produk Kodak IM5 yang memiliki layar 5 inci dengan resolusi HD720p, prosesor beta core 1,7GHz,RAM1GB, serta internal storage 8 GB tersimpan cerita tersendiri. Masih lekat dalam ingatan publik bagaimana Eastman Kodak Company, perusahaan yang didirikan pada 1888, terjun bebas setelah lama bersinar di dunia bisnis. Kodak IM5 yang meluncur di ajang CES2015 tak ubahnya pertaruhan besar dari raksasa teknologi yang nyaris mati Januari 2012,sejarah mencatat, Kodak masuk perlindungan kebangkrutan. Sesuatu yang sebetulnya mengejutkan mengingat reputasi perusahaan ini.
Merunut ke belakang, Kodak lama dikenal sebagai perusahaan inovatif dan pemain yang disegani di industri fotografi abad ke-20. Tahun 1976, misalnya, ia menguasai 90% penjualan rol film dan 85% pasar kamera di AS. Saking inovatifnya dan ini patut dicatat, bahkan KodakIah yang pertama membuat kamera digital (pada 1975).
Namun, sindrom itu rupanya membelit Kodak: yang pertama membuat, tak selalu yang sukses meraih hasilnya seeara komersial. Kodak tidak pernah sepenuhnya mengadopsi teknologi ini. Mereka mabuk kepayang dengan bisnis rol film yang sedang bagus-bagusnya. Maklum, mereka mendulang margin besar dari bisnis ini beserta pernak-perniknya.
Lantaran percaya bisnis rol film sangat menguntungkan, Kodakpun all out. Untuk urusan pengembangan bisnisnya ini, ia tak main-main. Dana belanja US$ 1,3 miliar setiap tahun dikulurkan untuk R&D, hingga akhirnya mampu merniliki 7.600 paten.
Akan tetapi, dunia berputar. Begitu fotografi digital mulai menggantikan rol film, dan ponsel mulai menggantikan kamera di tahun 1990-an, Kodak pun terjengkang. Keterlambatannya bergerak harus dibayar mahal. Ia pun mulai berjuang menyelamatkan hidup ketikan penjualan rol filmu ntuk fotografi makin dijauhi pelanggan. Akhirnya, kemalanganlah yang dideritanya: bangkrut.